Bisnis.com, JAKARTA - Para pedagang minyak China mengesampingkan kekhawatiran atas kerusakan ekonomi jangka panjang akibat perang dagang AS karena mereka berupaya mendapatkan keuntungan dari harga minyak mentah yang lebih rendah akibat kebijakan tersebut.
Menurut para analis, impor minyak mentah ke China melonjak pada Maret 2025 dan terus meningkat pada April, karena negara tersebut mengisi kembali stok meskipun ada ekspektasi bahwa ekonomi global yang lebih lemah akan mengurangi permintaan.
Melansir Financial Times pada Senin (28/4/2025), Kpler, perusahaan data yang melacak kapal tanker yang berlayar ke China, mengatakan Negeri Tirai Bambu mengimpor hampir 11 juta barel per hari, level tertinggi dalam 18 bulan dan naik dari 8,9 juta barel per hari pada Januari 2025.
Johannes Rauball dari Kpler mencatat bahwa stok minyak China rendah, dan memperkirakan tingkat impor saat ini akan terus berlanjut selama beberapa bulan ke depan karena pembeli memanfaatkan harga rendah untuk memulihkan persediaan mereka.
"Anda bisa melihat peningkatan impor bahkan jika permintaan [untuk minyak] tidak meningkat sekuat itu," katanya.
Pembeli China telah mengurangi pembelian minyak Iran sejak awal April, ketika AS untuk pertama kalinya menjatuhkan sanksi pada kilang minyak di provinsi Shandong timur, rumah bagi banyak kilang minyak swasta China.
Baca Juga
Setelah mengimpor minyak Iran sebanyak 1,8 juta barel per hari pada bulan Maret, pembelian telah turun menjadi 1,2 juta barel per hari pada bulan April, kata Kpler.
“Ada beberapa kehati-hatian dalam kilang minyak swasta dan ada beberapa kendala logistik dengan beberapa kapal tanker yang dikenai sanksi,” kata Rauball.
Dia juga menambahkan bahwa jumlah minyak mentah Iran yang disimpan di kapal tanker di laut telah meningkat pesat. Kpler melihat saat ini terdapat sebanyak 40 juta barel di 36 kapal. 18 juta barel berada di Singapura, 10 juta berada di Laut Kuning, dan sekitar 4 juta di Laut Cina Selatan.
Dia menambahkan, kilang-kilang swasta kemungkinan akan terus mengimpor minyak mentah Iran karena harganya yang didiskon.
“Margin mereka tipis, dan mereka tidak punya alternatif. Mereka harus mengimpor dari Iran atau bangkrut. Banyak dari mereka tidak terkait dengan sistem keuangan AS, jadi konsekuensinya lebih kecil bahkan jika mereka benar-benar terdampak," ujarnya.
Aksi beli minyak Iran yang dimulai karena kekhawatiran akan sanksi AS lebih lanjut, telah berkembang menjadi penimbunan minyak mentah yang lebih luas setelah pengumuman tarif Presiden Donald Trump, ditambah dengan peningkatan produksi oleh kartel minyak OPEC, menyebabkan harga merosot ke level terendah dalam empat tahun.
Harga minyak mentah jenis Brent kemudian bangkit kembali dan diperdagangkan pada harga sedikit di atas US$65 per barel pada akhir pekan lalu. Morgan Stanley yakin harga akan tetap tertekan, jatuh ke rata-rata US$62,50 per barel pada paruh kedua tahun ini.
Analis pasar minyak UBS Giovanni Staunovo mengatakan China selalu sangat sensitif terhadap harga minyak. Jika harga rendah, mereka menimbunnya, lalu mengurangi pembelian saat harga naik.
"Saya perkirakan data bulan ini akan lebih tinggi daripada bulan lalu karena pembelian strategis ini," jelasnya.
Sebagian besar analis percaya bahwa dampak ekonomi dari perang dagang AS-China akan mulai menurunkan permintaan minyak pada paruh kedua tahun ini, karena ekonomi mulai melambat.
Namun, turbulensi tersebut tampaknya belum berdampak serius pada permintaan China terhadap bahan bakar jalan raya atau penerbangan.
Analis di perusahaan data pasar Vortexa Emma Li menyebut beberapa kilang telah menunda pemeliharaan tahunan mereka agar tetap memproduksi bensin, solar, dan bahan bakar jet sementara harga minyak mentah rendah dan marginnya sehat.
“Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang, terutama paruh kedua. Namun, permintaan terlihat cukup sehat sehingga saya tidak memperkirakan penurunan terlalu banyak," jelas Li.
China adalah importir minyak terbesar di dunia, dan pasar utama minyak yang telah dipaksa keluar dari pasar lain, termasuk minyak mentah Rusia, Iran, dan Venezuela.