Bisnis.com, JAKARTA — International Monetary Fund atau IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025, yang sebelumnya 5,1% menjadi 4,7%.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Andry Asmoro menjelaskan penurunan proyeksi tersebut mencerminkan ancaman nyata dari gejolak ekonomi global ke perekonomian nasional.
Asmo meyakini tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump akan mengganggu perdagangan global, arus keuangan, hingga memicu ketidakpastian kebijakan. Akibatnya, sentimen pasar dan prospek investasi di seluruh dunia semakin melemah.
Dia pun menyoroti proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan Asean-5 yang turun dari 5,1% menjadi 4,65% pada 2025.
"Hal ini menandakan meningkatnya tekanan pada ekonomi regional, termasuk Indonesia, di tengah melambatnya permintaan global dan potensi melemahnya arus perdagangan intra-Asia," jelas Asmo dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).
Sejalan dengan itu, IMF juga memprakirakan pertumbuhan volume perdagangan global anjlok dari 3,8% pada 2024 menjadi hanya 1,7% pada 2025. Akibatnya, sektor manufaktur dan komoditas Indonesia yang sangat bergantung pada pasar ekspor akan terdampak secara negatif.
Baca Juga
Selain dari sisi perdagangan, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan potensi suku bunga tinggi yang lebih lama bertahan. Kenaikan tarif diyakini akan membuat inflasi AS tetap tinggi.
Akibatnya, jelas Asmo, kemungkinan besar bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed baru akan memangkas suku bunga pada akhir 2025—saat inflasi mulai mereda. Masalahnya, suku bunga The Fed tinggi akan menarik investor sehingga memicu arus keluar modal dari pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia.
Mau tak mau, Bank Indonesia juga akan berpikir dua kali apabila ingin memangkas suku bunga acuan agar imbal hasil pasar keuangan Tanah Air tetap menarik investor asing.
Di samping itu, Asmo meyakini Indonesia tetap berada dalam posisi yang relatif baik. Hanya saja, ada sejumlah prasyarat yang harus terpenuhi.
"Konsumsi domestik tetap kuat, disiplin fiskal dipertahankan, dan bauran kebijakan yang adaptif terus berfungsi sebagai penyangga," ujarnya.
Dia menggarisbawahi koordinasi kebijakan menjadi sangat penting di tengah ketidakpastian. Oleh sebab itu, Asmo mendorong adanya sinergi lintas kebijakan fiskal, moneter, dan sektoral yang diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mencegah rambatan negatif dari eksternal.
Menurutnya, para pemegang otoritas harus bekerja sama menjaga stabilitas rupiah, dan pengendalian inflasi. Sementara itu, mempercepat diversifikasi pasar ekspor dan industrialisasi-hilirisasi bisa menjadi strategi jangka menengah untuk memperkuat ketahanan eksternal Indonesia terhadap guncangan global.
"Kami mempertahankan proyeksi internal kami untuk pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 4,93% pada 2025 dan 5,05% pada 2026," tutup Asmo.