Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) menyebut pembatasan angkutan barang yang akan diberlakukan selama 16 hari periode Lebaran 2025 atau 24 Maret - 8 April 2025 dapat memicu penurunan produksi hingga berujung efisiensi karyawan.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan kebijakan tersebut lebih lama dari yang selama ini diterapkan 8-10 hari. Menurut Edy, hal tersebut dapat merugikan industri keramik dan berisiko mengganggu efisiensi produksi.
"Bagi kami ini sudah jelas ini merugikan kegiatan dunia usaha. Apalagi dalam proses produksi. Jadi boleh dikatakan 16 hari ini industri ini dirugikan karena 'vakum' [distrbusi bahan baku dan produk jadi]," kata Edy, dikutip Selasa (18/3/2025).
Apalagi, pengusaha truk Indonesia baru-baru ini juga mengungkap rencana mogok kerja selama 2 hari sehingga memperpanjang waktu hilangnya arus distribusi.
Edy juga mengungkapkan bahwa jika pembatasan ini berlangsung sesuai rencana, industri akan kehilangan hampir sebulan penuh untuk beroperasi.
"Itu artinya bisa sampai 20 hari. Jadi bagi kami ini sudah boleh dikatakan akan kehilangan hampir 1 bulan. Tentu ini sangat mengganggu produktivitas dan efisiensi," tuturnya.
Baca Juga
Untuk itu, dia berharap pemerintah dapat menemukan solusi alternatif atau jalan tengah dengan berkomunikasi bersama asosiasi pengusaha truk Indonesia agar industri tidak dirugikan berbagai pihak.
Edy juga menekankan bahwa selama ini pembatasan angkutan truk tidak pernah lebih dari 10 hari, dan itu masih bisa diantisipasi oleh pengusaha dari segi bahan baku.
"Kalau 8 hari sampai 10 hari itu semuanya bisa kami manage. Bahan bakunya loh ya terutama ya. Kalau 16 hari, apalagi sampai ada rencana mogok mulai tanggal 20 oleh pengusaha truk Indonesia sampai 20 hari. Ini boleh dikatakan sesuatu yang di luar kemampuan kami untuk manage," tuturnya.
Menurutnya, pembatasan yang terlalu lama akan menyebabkan gangguan serius terhadap pasokan bahan baku, yang pada akhirnya akan menghentikan produksi.
Jika pembatasan ini diberlakukan, industri keramik akan terpaksa berhenti berproduksi selama hampir tiga minggu. Untuk menekan potensi kerugian, maka pengusaha akan melakukan pengurangan jumlah karyawan.
"Otomatis pabrik akan memilih untuk stop produksi. Kalau produksi setop kurang lebih 20 hari sampai mendekati 3 minggu. Karyawan ini otomatis dirumahkan. Yang korban pasti industri dan karyawan. Jadi menurut kami memang pemerintah harus mencarikan titik temu," terangnya.