Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Mika Martumpal

Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Deflasi Februari 2025, Momentum atau Tantangan?

Deflasi Februari ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Penurunan harga terutama terjadi pada sektor perumahan, listrik, dan bahan makanan.
Pedagang melayani pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (18/1/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pedagang melayani pembeli di Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (18/1/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Deflasi tahunan sebesar 0,09% pada Februari 2025 menandai titik terendah sejak tahun 2000. Di satu sisi, penurunan harga tampak sebagai kabar baik bagi masyarakat karena daya beli meningkat dan biaya hidup berkurang.

Namun, deflasi juga menjadi pertanda aktivitas ekonomi yang belum kuat yang harus diwaspadai. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pascapandemi (2020—2024) hanya sebesar 2,82%, jauh di bawah pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum pandemi (2015—2019) yang sebesar 5,0%.

Lebih menarik lagi, meski terjadi deflasi, inflasi inti justru naik ke 2,48% (YoY), tertinggi sejak pertengahan 2023. Inflasi inti yang lebih stabil dibandingkan inflasi headline mengindikasikan adanya tekanan harga di sektor tertentu, meskipun secara keseluruhan harga-harga mengalami pelemahan.

Fenomena ini menciptakan dilema bagi masyarakat, bisnis dan pengambil kebijakan: apakah deflasi kali ini sekadar fenomena sementara atau justru menandakan kondisi ekonomi yang mulai menguat?

Deflasi Februari ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Penurunan harga terutama terjadi pada sektor perumahan, listrik, dan bahan makanan. Turunnya harga listrik akibat kebijakan subsidi pemerintah serta stabilnya harga pangan berkat strategi impor dan pengendalian stok menjadi faktor utama yang menekan inflasi.

Namun, jika ditelaah lebih dalam, tren ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan masih belum cukup kuat untuk mengejar laju konsumsi masyarakat.

Pada 2020 hingga 2024, belanja rumah tangga untuk makanan terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 2,62%, sementara sektor pertanian tanaman pangan justru mengalami kontraksi sebesar -0,36%.

Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa stabilitas harga pangan saat ini lebih banyak disebabkan oleh kebijakan jangka pendek, bukan oleh peningkatan produktivitas. Jika ketergantungan terhadap impor terus berlanjut tanpa peningkatan produksi domestik, inflasi pangan berisiko melonjak kembali ketika terjadi gangguan pasokan global dan nilai impor membebani nilai tukar rupiah.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menghadapi dilema kebijakan yang cukup kompleks. Inflasi yang rendah memang memberi ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga, guna mendorong konsumsi dan investasi.

Namun, realitas di pasar keuangan global tidak sesederhana itu. Sejak 2023, Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan, yang berarti lebih banyak kebutuhan valuta asing untuk impor dibandingkan dengan penerimaan valuta asing dari ekspor. Jika BI terburu-buru menurunkan suku bunga, daya tarik untuk memegang rupiah bisa berkurang dan meningkatkan risiko arus modal keluar.

Kondisi ini makin diperumit oleh suku bunga Amerika Serikat (AS) yang masih relatif tinggi dan risiko perang dagang babak kedua. Para pelaku pasar masih mengantisipasi kebijakan moneter AS relatif ketat pada tahun ini, yang dapat berdampak pada volatilitas nilai tukar rupiah.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19 Maret 2025, suku bunga acuan BI Rate diperkirakan tetap di 5,75%, terutama jika nilai tukar US$/IDR masih bertahan di atas 16.000. Namun, BI mulai memberi sinyal pelonggaran dengan menurunkan suku bunga SRBI 12 bulan dari 7,30% pada Desember 2024 menjadi 6,44% pada Februari 2025.

Selain kebijakan moneter, sektor perbankan juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekonomi. Dalam situasi seperti ini, dunia usaha cenderung menunda ekspansi, dan masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.

Inflasi di dalam negeri yang rendah dapat mendorong naik suku bunga riil rupiah dan disertai dengan meningkatnya minat menabung tetapi mengurangi konsumsi. Akibatnya, permintaan kredit berpotensi menurun, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, perbankan perlu menyesuaikan strategi agar tetap bisa berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional.

PERAN PERBANKAN

Dalam menghadapi tantangan ini, bank harus tetap menjaga keseimbangan antara kehati-hatian dan dukungan terhadap dunia usaha. CIMB Niaga, misalnya, terus memperkuat perannya dalam menyediakan akses pembiayaan bagi sektor riil, khususnya bagi UKM dan sektor korporasi terpilih yang membutuhkan likuiditas di tengah kondisi yang tidak pasti.

Selain itu, penguatan layanan digital banking menjadi prioritas agar masyarakat dan pelaku usaha dapat lebih mudah mengakses layanan keuangan, tanpa terkendala oleh fluktuasi pasar.

Ketika ekonomi berada dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, peran perbankan sebagai penjaga stabilitas keuangan menjadi semakin penting.

Tidak hanya dalam memastikan bahwa likuiditas tetap terjaga, tetapi juga dalam menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan jangka panjang. Bank tidak bisa hanya berfokus pada mitigasi risiko semata, tetapi juga harus menjadi katalis dalam mendorong pemulihan ekonomi.

Meskipun Februari mencatatkan deflasi, tren ini kemungkinan besar tidak akan bertahan lama. Inflasi diperkirakan kembali naik pada Maret 2025, terutama karena beberapa faktor musiman, seperti kenaikan permintaan bahan makanan menjelang Ramadan dan Idulfitri, peningkatan harga di sektor makanan dan transportasi, serta berakhirnya diskon tarif listrik yang dapat mendorong inflasi energi.

Namun, yang menjadi perhatian utama adalah inflasi inti yang masih di bawah target BI, yang mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.

Jika konsumsi masih tertahan, pertumbuhan ekonomi bisa melambat lebih lanjut, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada sektor keuangan. Oleh karena itu, kebijakan moneter dan fiskal harus lebih adaptif dalam mendorong konsumsi dan investasi. Dalam konteks ini, kolaborasi antara BI, pemerintah, dan sektor perbankan menjadi kunci utama dalam menjaga keseimbangan ekonomi.

Deflasi Februari 2025 memberikan pelajaran berharga bahwa stabilitas harga bukan satu-satunya indikator kesehatan ekonomi. Produksi domestik yang belum mampu mengejar permintaan tetap menjadi tantangan utama yang harus segera diatasi. Sementara itu, daya beli yang belum sepenuhnya pulih mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi masih membutuhkan waktu dan dukungan kebijakan yang lebih kuat.

Di tengah situasi ini, perbankan memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi. CIMB Niaga, sebagai salah satu bank yang siap menghadapi tantangan ini, terus memperkuat intermediasi keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan strategi yang tepat, bank dapat membantu menjaga keseimbangan antara stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan inklusi keuangan bagi masyarakat luas.

Deflasi ini bukan hanya berarti adanya penurunan harga barang dan jasa, tetapi merupakan sinyal penting bahwa kegiatan ekonomi tidak baik-baik saja. Kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif dapat diterapkan untuk memperkuat pemulihan ekonomi nasional pascapandemi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper