Bisnis.com, JAKARTA — Pakar menilai para pejabat BPI Danantara punya tugas berat menumbuhkan kepercayaan publik. Keterlibatan tokoh publik seperti Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY dinilai tidak cukup.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyambut baik apabila SBY turut menghimbau agar pengelolaan Danantara semakin kerja lebih keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Kendati demikian, sambungnya, masyarakat membutuhkan aksi nyata—bukan hanya pernyataan semata.
Oleh sebab itu, Wijayanto mendorong agar petinggi Danantara mengutamakan keterbukaan informasi. Staf khusus wakil presiden untuk ekonomi dan keuangan periode 2014—2019 ini menekankan perlunya transparansi proses penyusunan regulasi terkait Danantara.
Sejalan dengan itu, struktur organisasi Danantara harus bisa memungkinkan tata kelola berjalan dengan baik. Setelahnya, proses seleksi pimpinan dilakukan secara transparan sehingga terpilih sosok yang kredibel, profesional dan tidak terafiliasi dengan kepentingan politik.
"Rencana kerja dan roadmap [peta jalan] perlu segera diumumkan dan dalam prosesnya melibatkan para pakar, serta komunikasi publik dilakukan dengan baik dan tuntas," jelas Wijayanto kepada Bisnis, Senin (3/3/2025).
Senada, Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mendorong agar Presiden Prabowo Subianto bisa memberi bukti bahwa Danantara bisa bebas dari kepentingan politik.
Baca Juga
Caranya, sambungnya, Prabowo harus menunjuk petinggi Danantara dari kalangan profesional.
"Kepercayaan diperoleh, bukan terberi," ujar Deni kepada Bisnis, Senin (3/3/22025).
Dia pun mengkritisi keputusan Prabowo memperbolehkan Rosan Roeslani merangkap jabatan sebagai CEO/kepala Badan Pelaksana BPI Danantara sekaligus menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM.
'Izin' rangkap jabatan dari Prabowo tersebut tercantum dalam Pasal 33 No. 10/2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara.
Deni melihat sejak awal pembentukan struktur dan pemilihan petinggi Danantara tidak jelas maksud dan tujuannya. Di satu sisi, ditujukan untuk memperbaiki pengelolaan BUMN; namun di sisi lain, dia melihat banyaknya akomodasi dan tarik-menarik kepentingan.
"Akibatnya yang terjadi seperti itu, terjadi berbagai penyesuaian, termasuk beberapa aturan yang direvisi agar tidak melanggar, seperti hal dibolehkannya rangkap jabatan," jelasnya.
Dia mengibaratkan Danantara sebagai bayi yang baru lahir. Bagaimanapun, sambungnya, seorang bayi harus diberi perhatian khusus.
"Seorang ibu saja, bahkan dia harus resign [mengundurkan diri] kerjaan atau dibantu oleh baby sitter untuk urus bayi," jelasnya.
Lebih lanjut, dia mencontohkan ketidakjelasan struktur Danantara juga terlihat dalam opsi pembentukan Komite Pemantau dan Akuntabilitas Danantara seperti yang tercantum dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah (Perpres) No. 10/2025.
Deni mengakui bahwa secara teoritis tidak ada yang salah dengan wacana pembentukan Komite Pemantau dan Akuntabilitas Danantara. Apalagi, sambungnya, apabila tujuannya untuk membantu memperbaiki tata kelola Danantara atau BUMN di bawahnya.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa sudah ada Dewan Pengawas dan Dewan Penasehat Danantara yang notabenenya tugasnya jug untuk memantau dan mengawasi akuntabilitas Danantara.
Dia pun khawatir keputusan pembentukan Komite Pemantau dan Akuntabilitas Danantara itu hanya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan.
"Buat apa dibentuk badan/institusi lagi yang hanya mempergemuk birokrasi dan menjadikannya lambat dan saling tumpang tindih kewenangan?" ujar Deni.