Bisnis.com, JAKARTA - Kewajiban penggunaan harga batu bara acuan (HBA) sebagai dasar penjualan batu bara di pasar global dinilai dapat berdampak positif maupun negatif.
Adapun, kewajiban menggunakan HBA untuk ekspor emas hitam itu akan berlaku mulai 1 Maret 2025. Selama ini, kebanyakan pembeli batu bara dari Indonesia mengacu pada Indonesia Coal Index (ICI).
Indeks harga ini merupakan acuan harga mingguan batu bara Indonesia di pasar domestik dan internasional yang disusun oleh PT Coalindo Energy dan Argus Media, lembaga pricing dari Inggris.
Sementara itu, HBA ditetapkan oleh Kementerian ESDM setiap bulannya dan digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan tarif royalti dan harga jual batu bara.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo berpendapat ICI sebagai keputusan harga melalui panel berbeda dengan HBA yang dibentuk dari data rata-rata realisasi harga jual batu bara 2 bulan sebelumnya berdasarkan data harga riil di penambang.
Untuk itu, menurutnya, penggunaan HBA sebagai acuan penjualan ekspor dapat merugikan atau sebaliknya menguntungkan. Apalagi, fluktuasi harga batu bara sangat dinamis.
Singgih mengatakan, jika HBA rendah atau di bawah harga yang akan disepakati, justru akan merugikan pemerintah di sisi royalti dan corporate tax nantinya.
"Sebaliknya jika harga HBA jauh di atas harga riil pasar, bisa jadi buyer akan menunda pembelian atau berat menerima harga yang ditawarkan penambang," kata Singgih kepada Bisnis, Jumat (28/2/2025).
Selain itu, dia menilai memaksakan harga pada ruang pasar yang terbuka dan sifatnya business-to-business (B2B) menjadi tidak mudah.
Melihat prospek ke depan, khususnya pasar negara importir yang sedang menghadapi transisi energi, maka harga batu bara diproyeksikan relatif akan turun.
Karena itu, Singgih berpendapat kewajiban penggunaan HBA dipastikan akan menyulitkan pelaku usaha. Singgih pun menyarankan sebaiknya pemerintah bisa membuat Indonesian Government Coal Index dengan berbagai panel yang terdiri atas wakil seller, trader, hingga user.
"Dan ini jauh lebih baik dibandingkan memaksakan dengan HBA sehingga indeks yang ada sebagai indeks resmi pemerintah," imbuh Singgih.
Kendati demikian, dia mengapresiasi upaya pemerintah yang ingin mendorong Indonesia sebagai eksportir terbesar batu bara dunia, dapat memainkan peran sebagai penentu harga (price maker).
"Upaya ini harus dilakukan dengan berbagai effort yang dimiliki dan menguntungkan pemerintah maupun pengusaha tambang," imbuh Singgih.
Belum Ada Payung Hukum
Meski akan berlaku besok, payung hukum kewajiban menggunakan HBA untuk ekspor hingga saat ini belum dirilis. Belakangan, Kementerian ESDM mengonfirmasi aturan kewajiban menggunakan HBA untuk acuan ekspor akan berbentuk Keputusan Menteri (Kepmen).
Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya masih punya waktu satu malam untuk merilis Kepmen.
"Ya kan sekarang baru tanggal 28 [Februari], kan masih ada satu malam," kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (28/2/2025).
Namun demikian, Dadan mengeklaim pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada para eksportir batu bara dan pemangku kepentingan.
"Sudah sosialisasi. 1.000 sekian orang yang hadir, 1.023 orang gitu," katanya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan pemerintah akan mewajibkan penggunaan HBA sebagai acuan untuk ekspor batu bara.
Baca Juga
Dia menjelaskan, harga batu bara RI untuk ekspor masih menggunakan acuan dari negara lain. Menurut Bahlil, hal ini cukup merugikan. Sebab, terkadang batu bara Indonesia dihargai lebih murah dibanding negara lain.
"Nah, kita ini kan harus punya independensi, harus punya nasionalisme. Jangan harga batu bara kita ditentukan oleh orang lain harganya rendah. Aku enggak mau itu," kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (26/2/2025).