Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Misinterpretasi Pemberdayaan Petani Sawit

Kurangnya dana membuat petani kecil terhambat dan hanya sedikit dari mereka yang mampu membeli benih sawit berkualitas baik dan berproduksi tinggi.
Kumpulan buah sawit yang telah lepas dari tandan sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina
Kumpulan buah sawit yang telah lepas dari tandan sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit PT Sahabat Mewah dan Makmur, Belitung Timur, Rabu (28/8/2024). / Bisnis-Annasa Rizki Kamalina

Bisnis.com, JAKARTA – Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nusron Wahid, dalam pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (30/1), mengenai kebijakan yang akan membatasi perluasan Perkebunan Besar kelapa sawit, sekilas terlihat sebagai sebuah ide yang berani untuk meningkatkan keadilan sosial ekonomi dalam industri minyak nabati yang sedang bertumbuh pesat ini.

Nusron Wahid mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengajukan permohonan perpanjangan konsesi perkebunan dengan Hak Guna Usaha (HGU), akan diwajibkan untuk menggandeng para petani kelapa sawit dalam kemitraan usaha dengan luasan yang setidaknya dapat setara dengan 30% dari total area konsesi mereka. Jumlah luasan ini, lebih besar dibandingkan 20% luasan kebun sawit.

Persyaratan ini sebenarnya merupakan perluasan dari kemitraan bisnis antara perusahaan perkebunan dan petani kecil, yang dikenal sebagai skema perkebunan inti-plasma yang diatur dalam UU Perkebunan tahun 2014, dan telah diganti pada tahun 2023, dengan Omnibus Law No. 6/2023 tentang Penciptaan Lapangan Kerja.

Secara konseptual, skema perkebunan plasma adalah sebuah kebijakan yang ramah terhadap petani kecil dan kerja sama manajemen di mana perusahaan perkebunan memberikan akses kepada petani kecil untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan, guna pembiayaan teknologi pertanian, benih unggul sawit, praktik budidaya terbaik, pengolahan tandan buah segar dan pemasaran minyak kelapa sawit.

Di atas kertas, konsep plasma baik untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit karena petani kecil yang bergabung dalam program ini dapat menanam atau meremajakan perkebunan kelapa sawit mereka yang luasannya terbatas sekitar 2 hektare, di bawah bimbingan teknis dan bantuan pembiayaan dari perusahaan perkebunan. Dengan kata lain, Perusahaan perkebunan kelapa sawit berperan sebagai agen pembangunan bagi petani kecil.

Keterlibatan dan kerja sama harmonis dan saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dan petani kecil yang tinggal di sekitar konsesi perkebunan mereka adalah cara yang paling efektif untuk memperluas perkebunan kelapa sawit tanpa memperlebar ketimpangan dalam kepemilikan lahan.

Nusron Wahid dalam pernyataannya di DPR, juga menyebutkan secara khusus tentang perkebunan kelapa sawit yang berbeda dengan tanaman perkebunan lainnya seperti karet, kakao, dan cengkeh yang sebagian besar dimiliki dan dibudidayakan oleh petani kecil, sedangkan lebih dari 60% perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Disampaikannya, kekhawatiran bahwa jika ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan tetap pada tingkat saat ini, masalah-masalah ketimpangan yang meningkat dapat mengancam keberlanjutan sosial jangka panjang industri kelapa sawit, yang telah menjadi yang terbesar di dunia dengan produksi tahunan lebih dari 50 juta ton dan peran yang semakin penting dalam perekonomian Indonesia.

Namun, ada dua masalah besar, yang akan terus membayangi implementasi kemitraan perkebunan besar dan petani pekebun. Pertama, pemerintah kerap gagal dalam menegakkan peraturan perundangan yang mewajibkan kemitraan usaha antara perusahaan besar dan petani kecil dengan baik karena kurangnya peraturan pelaksanaan dari Kementerian Pertanian.

Kedua adalah masalah sebagian besar petani kecil, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki sekitar 40% dari total perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang luasnya lebih dari 16,8 juta ha, belum terlibat dalam kemitraan plasma dengan perusahaan perkebunan. Petani ini merupakan petani pekebun kelapa sawit swadaya.

Petani kecil kerap menghadapi berbagai tantangan, seperti aspek legalitas dan operasional kebun. Bermula dari ketiadaan sertifikat tanah yang menghambat aset kepemilikan lahan sebagai jaminan untuk pinjaman bank, sehingga mereka harus membayar biaya mahal guna mendapatkan pembiayaan kredit.

Kurangnya dana membuat petani kecil terhambat dan hanya sedikit dari mereka yang mampu membeli benih sawit berkualitas baik dan berproduksi tinggi, seperti yang digunakan oleh perusahaan. Kondisi ini menjadi hambatan besar bagi yang petani kecil dalam menggapai kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya.

Namun, masih membingungkan, kenapa tiba-tiba pemerintah memutuskan untuk meningkatkan areal untuk kemitraan bisnis wajib antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan petani kecil hingga 30%? Lantaran skema plasma dari Kementerian Pertanian masih tetap berpegang pada 20 persen, itupun masih belum sepenuhnya bisa dilaksanakan.

Selain itu, Kementerian Pertanian sebagai otoritas teknis, telah memiliki pengalaman ekstensif puluhan tahun dalam menangani perkebunan kepala sawit dan pemberdayaan petani sawit. Dengan jam terbang yang luar biasa dan kompetensi dalam menangani perkebunan kelapa sawit, termasuk pemberdayaan petani kecil kelapa sawit melalui program plasma, maka penentuan alokasi 20% untuk mitra petani plasma tentunya dirumuskan melalui proses panjang disertasi kajian mendalam.

FASILITASI

Dalam kenyataannya, pelaksanaan program plasma 20%, sangat sulit dilaksanakan di lapangan, karena berbagai kompleksitas dan permasalahannya. Untuk mengatasinya, maka Kementerian Pertanian menerapkan kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebagai alternatif pemberdayaan petani sawit kecil untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan di sektor perkebunan.

FPKM merupakan kewajiban untuk memfasilitasi pembangunan kebun mitra petani kecil sekitar 20% dari luas konsesi perkebunan kelapa sawit milik perusahaan. Perusahaan diberikan alternatif program pemberdayaan masyarakat, diantaranya melalui pola kredit, pola bagi hasil, serta pola kemitraan lainnya atas dasar kesepakatan antara Perusahaan dengan masyarakat.

Investor dapat melihat kebijakan baru Nusron Wahid ini, sebagai sebuah inkonsistensi kebijakan di saat investasi baru dibutuhkan untuk meningkatkan laju pengembangan kelapa sawit, bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan dan untuk lebih meningkatkan peran industri ini sebagai sumber pangan dan energi. Selain itu, kebijakan ini mencerminkan kegagalan dalam memahami operasional perkebunan kelapa sawit, serta pola pemberdayaan petani kelapa sawit.

Semestinya, Kementerian ATR/BPN dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk sinkronisasi kebijakan alokasi lahan perkebunan kelapa sawit untuk petani plasma, sehingga peraturan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa terjadinya disrupsi negatif bagi iklim investasi kita.

Meskipun demikian, mengingat bahwa perpanjangan HGU Perkebunan belum terlalu masif, sehingga pemerintah masih memiliki cukup waktu untuk mengkaji secara komprehensif implementasi skema plasma di perkebunan kelapa sawit disertai ikhtiar sinkronisasi kebijakan dalam rangka perbaikan tata kelola dan ekosistem program pemberdayaan masyarakat petani kelapa sawit.

Pemerintah juga perlu fokus pada pemberdayaan masyarakat petani agar mampu menjadi mitra setara Perusahaan perkebunan kelapa sawit, sehingga mampu bersaing dalam produktivitas dan kualitas buah dan produk minyak sawit. Regulasi pertanahan dan kebijakan keuangan yang menguntungkan perusahaan harus diubah dan upaya yang lebih terpadu harus dilakukan untuk memberdayakan petani kecil tanpa mengorbankan investasi dan dunia usaha.

Harapan rakyat terhadap pemerintahan Presiden Prabowo, kiranya dapat diwujudkan dalam kebijakan dan program kerja yang tidak hanya populis, tetapi memberikan jaminan kepastian investasi dan berusaha untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Sebab itu, kebijakan publik harusnya dapat dirumuskan melalui proses yang objektif, komprehensif dan melibatkan para pihak terkait.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suhardi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper