Bisnis.com, JAKARTA — Raksasa migas global seperti Exxon Mobil, Chevron hingga Shell belakangan ikut gundah di tengah kehadiran model kecerdasan buatan (AI) DeepSeek dari China.
Alasannya, DeepSeek mampu beroperasi dengan kebutuhan listrik yang relatif minim jika dibandingkan dengan kecerdasan buatan OpenAI dan Meta AI.
Situasi itu diperkirakan bakal ikut mengoreksi proyeksi kebutuhan energi dari pusat data mendatang.
Kendati demikian, perusahaan migas global itu tetap menaruh proyeksi optimis ihwal permintaan listrik dan gas yang meningkat beberapa tahun mendatang di tengah transisi energi.
“DeepSeek sebenarnya menegaskan betapa kompetitif dan mendesaknya perlombaan global untuk menjadi pemimpin di industri AI ini,” kata CEO Chevron Mike Wirth dalam sebuah wawancara, dikutip dari Bloomberg, Minggu (2/2/2025).
Wirth menambahkan penggunaan model AI yang lebih efisien bakal diadopsi pada seluruh sektor ekonomi. Kondisi itu, menurut Mike, bakal mendorong permintaan akan listrik terus tumbuh.
Baca Juga
“Permintaan akan AI dan listrik akan terus tumbuh seiring perkembangannya,” kata Wirth.
Seperti diketahui, sejumlah raksasa migas belakangan melakukan buyback atas saham mereka dan memberika dividen sebagai strategi utama untuk menarik investor di Wall Street, setelah prospek permintaan minyak mencapai titik puncaknya.
Misalkan, Exxon menghabiskan seluruh arus kas bebasnya sekitar US$36 miliar tahun lalu, akan tetapi harga sahamnya tetap diperdagangkan dengan diskon 46% dibandingkan rata-rata Indeks S&P500.
Belakangan, manajemen perusahaan migas global menyoroti peran gas alam dalam memenuhi kebutuhan listrik pusat data yang menopang AI.
“Kami juga berada di posisi yang baik untuk memenuhi lonjakan permintaan listrik dari pusat data dengan sumber daya rendah karbon, dengan jang waktu yang lebih cepat dibandingkan alternatif seperti nuklir,” kata CEO Exxon Darren Woods saat bertemu dengan analis dikutip dari Bloomberg.
Amerika Serikat saat ini menjadi produsen minyak terbesar di dunia, memompa lebih dari 50% produksi minyak per hari dibandingkan dengan Arab Saudi dan baru-baru ini melampui Australia serta Qatar dalam hal ekspor gas alam cair (LNG).
Kendati demikian, saham energi hanya meyumbang 3,2% dari Indeks S&P500, kurang dari setengah proporsi yang ada satu dekade lalu.
“Ini adalah hal yang cukup membuat frustrasi, kamu kurang dihargai oleh komunitas investor,” kata Wirth dalam sebuah diskusi dengan CEO Goldman Sachs Group Inc., David Solomon, bulan lalu.