Bisnis.com, JAKARTA - Pasar modal Indonesia memulai tahun 2025 ini dengan kinerja yang sangat baik. IHSG naik lebih dari 2% year-to-date (YtD) sedangkan Indeks IDX30 naik 2,5% YtD.
Lebih luar biasa lagi kinerja indeks saham dan reksa dana indeks yang mayoritas konstituennya adalah emiten perbankan seperti IDX Pefindo Prime Bank dan IDX Pefindo I-Grade yang masing-masing memiliki kinerja positif di sekitar 3,5% dan 3% YtD.
Seperti halnya di pasar saham, kinerja instrumen investasi pasar uang dan pendapatan tetap juga memiliki kinerja baik. Reksa dana pasar uang masih dapat membukukan kinerja positif berkisar 0,45%—0,50% YtD. Sementara kinerja reksa dana pendapatan tetap dengan durasi pendek memiliki kinerja positif berkisar 0,5%—0,8% YtD dan reksa dana pendapatan tetap durasi panjang memiliki kinerja yang relatif flat.
Ada beberapa faktor yang mendukung kinerja positif ini. Pertama, faktor eksternal di Amerika Serikat di mana US Treasury yield 10-tahun turun dari titik tertingginya di sekitar 4,8% ke saat ini dibawah 4,6%. Hal ini didorong oleh data Producer Price Index Amerika, salah satu indikator inflasi, di bulan Desember lebih rendah dari ekspektasi.
Hal ini mendorong (1) depresiasi US Dollar terhadap mata uang negara maju dan berkembang, (2) penurunan yield Surat Berharga Negara Indonesia 10-tahun dan (3) perlambatan outflow investor asing dari pasar modal Indonesia.
Kedua, faktor domestik di mana Bank Indonesia, diluar ekspekasi, menurunkan BI Rate dan suku bunga simpanan di BI sebanyak 25 basis points yang kemudian diikuti penurunan yield SRBI dan pengurangan outstanding SRBI.
Baca Juga
Hal ini mengindikasikan komitmen Bank Indonesia untuk memberikan likuiditas lebih banyak ke pasar keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, memanfaatkan kesempatan saat tingkat inflasi Indonesia masih rendah. Hal ini mendorong kenaikan harga saham perbankan di Indonesia, seperti saham Bank BNI dan BRI, yang pada saat itu berada dalam valuasi yang sangat rendah.
Kebijakan Bank Indonesia ini diharapkan dapat meningkatkan likuiditas perbankan sehingga dapat mendukung pertumbuhan pembiayaan dan melebarkan net interest margin yang mengalami kompresi di tahun 2024.
Ketiga, faktor eksternal di mana setelah pengangkatan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat tidak segera disertai keluarnya kebijakan peningkatan tarif terhadap China atau negara lainnya. Padahal pelaku pasar sudah mengantisipasi hal negatif untuk ini terjadi sejak beberapa bulan yang lalu ketika Trump menang pemilihan umum.
Sehingga hal ini dianggap sebagai faktor positif. US Dollar makin melemah dan mata uang negara berkembang termasuk rupiah melanjutkan penguatan terhadap US Dollar dan minat investasi investor di aset investasi yang lebih berisiko seperti saham dan obligasi berlanjut. Hal ini mendorong kenaikan indeks harga saham dan obligasi yang menjadi underlying aset di reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap.
Tahun 2024 secara umum hanya instrumen pendapatan tetap dan pasar uang yang memiliki kinerja positif. Tahun ini, kinerja investasi diperkirakan lebih baik dari tahun lalu. Kinerja positif awal tahun ini tentunya memperkuat peluang tersebut tetapi alasan utamanya adalah valuasi yang sangat rendah akibat koreksi pasar tahun lalu. Rupiah yang stabil atau maksimum melemah terbatas juga akan menjadi kunci sukses pendukung pencapaian kinerja investasi yang baik.
Di pasar saham, valuasi yang rendah ditunjukkan antara lain dengan rasio price to earnings (P/E) yang berada di bawah rata-rata historis jangka panjangnya dan dividend yield yang relatif tinggi. Sebagai contoh IHSG saat ini diperdagangkan di kisaran P/E 12x, dibandingkan rata-rata historisnya di 14,5x, dan dividend yield 5% serta estimasi pertumbuhan laba bersih sekitar 8%. Hal ini mengindikasikan IHSG memiliki potensi total return sebesar 13%—18%, dengan asumsi tidak terjadi derating (valuasi turun menjadi lebih murah dibandingkan rata-rata historisnya).
Di instrumen pendapatan tetap, pada awal tahun current yield Surat Berharga Negara (SBN) 10-tahun berada di kisaran 7% dan obligasi korporasi dengan jangka waktu serupa di sekitar 8%, maka potensi imbal hasil bersihnya 4,4%—7,4% dan 5,4%—7,9% untuk aset investasi berbasis SBN dan obligasi korporasi tersebut dengan asumsi tidak terjadi capital loss. Variasi potensi kinerja juga dapat disebabkan durasi yang lebih panjang atau lebih pendek pada underlying investasi di instrumen pendapatan tetap tersebut.
Sementara instrumen investasi pasar uang, terutama yang underlying aset investasinya di pendapatan tetap dengan jatuh tempo kurang dari 1 tahun berpotensi memiliki kinerja yang lebih baik dari tahun lalu bila pasar obligasi tidak terjadi loss. Seperti yang kita lihat di awal tahun ini, potensi imbal hasil disetahunkan ekuivalan dengan tingkat bunga deposito gross 6,75% hingga 7,5%.
Tentunya perlu diingat juga investor tidak akan dapat secara sempurna melakukan market timing yaitu menentukan waktu melakukan investasi pada saat harga di titik paling rendah ataupun memastikan bahwa potensi imbal hasil itu dapat tercapai pada waktu tertentu.
Namun, yang dapat dilakukan investor adalah melakukan investasi secara bertahap dan mencocokkan pilihan investasi yang ada dengan kebutuhan tiap individu atau institusi yang beragam. Dalam jangka panjang fundamental aset investasi akan sejalan dengan realisasi potensi imbal hasilnya dan eksekusi investasi secara berkala dapat meningkatkan probabilitas mendapatkan pick-up yield dibandingkan investasi secara lump sum.
Sebagai contoh, untuk investor yang memiliki kebutuhan jangka pendek dan toleransi risiko yang rendah akan lebih baik berinvestasi mayoritas di reksa dana pasar uang dan pendapatan tetap short duration. Untuk kebutuhan jangka menengahnya dapat mulai bertahap membangun posisi investasi di reksa dana pendapatan tetap long-duration dan reksa dana saham berbasis indeks High Dividen 20 karena ada buffer dari imbal hasil dividen yang lebih tinggi dan support potensi kenaikan harga saham mendekati pengumuman dividen final emiten di akhir kuartal-1 atau di awal kuartal-2.
Untuk kesesuaian dengan kebutuhan jangka panjangnya, investor dapat mempertimbangkan investasi di reksa dana pendapatan tetap durasi panjang dan reksa dana saham berbasis indeks yang valuasi sudah sangat rendah seperti IDX Prime Bank dan Pefindo BNI I-Grade maupun IDX30.
Sempat disampaikan juga diatas perlunya dukungan dari pergerakan nilai tukar USDIDR. Setelah penurunan BI Rate, sempat dikhawatirkan akan menyebabkan rupiah makin melemah. Namun, sebaliknya rupiah dalam posisi menguat karena faktor eksternal.
Kalau dilihat valuasinya di real effective exchange rate terlihat saat ini rupiah tidak mahal dan swap points (selisih forward rate rupiah dengan spot rate rupiah) sempat beberapa kali antara tanggal 20—23 Januari 2025 mengindikasikan ekspektasi rupiah menguat dalam 1 bulan ke depan dengan range -30 hingga -45 pips. Dan saat ini mengindikasikan ekspektasi pelemahan rupiah yang sangat terbatas sebesar 1% per tahun dibandingkan rata-rata historis sekitar 2,5%-3% per tahun.
Situasi ini dapat menarik bagi investor luar negeri. Sebagai contoh investasi pada reksa dana pendapatan tetap berbasis SBN dengan potensi imbal hasil 7,4% dikurangi depresiasi Rupiah 1% masih berpotensi menghasilkan premium diatas imbal hasil US Treasury sebesar 1,8 percentage points.