Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat pajak mendorong Presiden Prabowo Subianto mulai serius menarik pajak tambahan dari orang super kaya, usai pemerintah kesusahan mencari dana tambahan untuk membiayai program unggulan seperti makan bergizi gratis.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun dalam APBN 2025 terlalu optimistis. Angka tersebut melonjak 10,07% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2024.
Dia berpandangan target tersebut mencerminkan Prabowo ingin tetap memenuhi janji politik program makan bergizi gratis, terlepas dari kebutuhan biaya yang tidak sedikit.
Jika merujuk pada realisasi APBN 2024, maka pemerintah butuh tambahan penerimaan pajak sebesar Rp256,9 triliun untuk memenuhi target APBN 2025.
"Pertanyaannya adalah, dari mana tambahan penerimaan sebesar itu? Untuk mencapai realisasi 2024 saja sudah susah payah. Terlebih pemerintah telah membatalkan kenaikan tarif PPN yang berpotensi menghasilkan penerimaan kurang lebih Rp80 triliun," kata Fajry kepada Bisnis, dikutip Senin (27/1/2025).
Dia pun tidak heran apabila kemudian Prabowo memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun lewat Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025.
Baca Juga
Kendati demikian, Fajry menilai efisiensi belanja saja tidak akan cukup memenuhi berbagai kebutuhan pemerintahan ke depan. Oleh sebab itu, dia mengatakan pemerintah perlu menggali sumber penerimaan baru.
"Dengan kondisi politik yang ada perlu kebijakan pajak yang progresif. Pajak minimum bagi kelompok super kaya bisa menjadi opsi," katanya.
Dia mengatakan opsi ini dapat diterapkan pada wajib pajak super kaya yang belum patuh. Sementara itu, wajib pajak super kaya yang telah patuh tidak akan dikenakan pajak tambahan.
Selain itu, Fajry mencatat ada piutang pajak tak tertagih dalam kisaran Rp39 triliun sampai dengan Rp44 triliun selama periode 2018—2022. Menurutnya, pemerintah perlu tegas menagih piutang pajak tersebut di tengah keterbatasan fiskal.
"Ini perlu evaluasi, ada apa? Apakah perlu sokongan dalam penagihan?" tanyanya.
Dia turut menagih janji politik penggalian penerimaan pajak dari sektor informal. Fajry melihat kunci kesuksesan rencana tersebut adalah kesiapan data. Dengan demikian, pembagian data antar kementerian/lembaga atau antar pemerintah dengan swasta harus berjalan dengan baik.
Fajry turut menyoroti pentingnya penerapan kebijakan non pajak, terutama dari sisi kebijakan dagang dan kebijakan industri. Dia meyakini kedua kebijakan tersebut dapat meningkatkan penerimaan pajak secara tidak langsung langsung.
Industri manufaktur, sambungnya, merupakan salah satu sumber pajak penting negara. Hanya saja, industri tersebut tengah tantangan persaingan usaha yang berat karena masuknya produk murah dari China.
Tak hanya itu, keberlangsungan industri manufaktur padat karya yang berada di persimpangan bakal berpengaruh pada struktur tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja formal yang berkurang bakal membuat pemerintah makin sulit menggali sumber penerimaan pajak.
"Sudah saatnya pemerintah tegas pada produk-produk super murah dari China. Ini berdampak secara tidak langsung terhadap penerimaan pajak," tekannya.
Fajry juga mewanti-wanti Prabowo untuk tidak menerbitkan keputusan yang memantik kemarahan masyarakat seperti tax amnesty atau kebijakan bebas pajak bagi family office—mengingat salah satu basis dukungan politik yang berasal dari kelas menengah-bawah.