Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Begini Catatan Kinerja Fiskal 100 Hari Prabowo versi Pengamat Pajak

Kinerja fiskal pemerintahan Prabowo tak luput dari sorotan, terlebih dengan masa kerja yang memasuki periode 100 hari pertama
Presiden RI Prabowo Subianto. Dok Setpres RI
Presiden RI Prabowo Subianto. Dok Setpres RI

Bisnis.com, JAKARTA —  Masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bakal memasuki usia 100 hari pada 28 Januari 2025. Kinerja fiskal menjadi salah satu aspek yang tak luput dari sorotan, terutama dari sisi perpajakan.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat terdapat sejumlah kebijakan fiskal pada masa pemerintahan Prabowo dan Gibran yang patut diapresiasi dan dikritisi dalam kurun 100 hari.

Fajry menilai keputusan Prabowo membatalkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% untuk barang/jasa umum patut diapresiasi. Menurutnya, keputusan tersebut masih menunjukkan bahwa kepala negara masih peduli dengan protes masyarakat.

Kendati demikian, dia juga menyesalkan bahwa pengumuman pembatalan tersebut dilakukan beberapa jam sebelum rencana awal pemberlakuan tarif PPN 12%. Akibatnya, para pelaku usaha tidak sempat melakukan penyesuaian sehingga harga barang/jasa terlanjur naik.

Selain itu, Fajry turut mengapresiasi kinerja APBN 2024 akhir tahun, terutama dengan kondisi defisit anggaran yang bisa dijaga tetap di bawah 3%. Padahal proyeksi pada Oktober 2024 menunjukkan potensi defisit yang lebih lebar dari 3%.

Saat itu, sambungnya, belanja negara naik lebih dari 14% sedangkan penerimaan pajak terkontraksi 0,33%. Pada akhir tahun, belanja negara mampu dikelola hingga tumbuh hanya 7,3%, sementara penerimaan pajak mampu meningkat 3,5%.

"Dengan begitu, defisit APBN terhadap PDB masih tetap terjaga. Saya melihat ada kerja keras dalam pengelolaan risiko APBN di akhir tahun," ujar Fajry kepada Bisnis, Sabtu (25/1/2025).

Di sisi lain, dia melihat bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun dalam APBN 2025 terlalu optimistis. Angka tersebut melonjak 10,07% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2024.

Dia berpandangan target tersebut mencerminkan Prabowo ingin tetap memenuhi janji politik program makan bergizi gratis (MBG), terlepas dari kebutuhan biaya yang tidak sedikit.

Jika merujuk pada realisasi APBN 2024, maka pemerintah butuh tambahan penerimaan pajak sebesar Rp256,9 triliun untuk memenuhi target APBN 2025.

"Pertanyaannya adalah, dari mana tambahan penerimaan sebesar itu? Untuk mencapai realisasi 2024 saja sudah susah payah. Terlebih pemerintah telah membatalkan kenaikan tarif PPN yang berpotensi menghasilkan penerimaan kurang lebih Rp80 triliun," katanya.

Dia pun tidak heran apabila kemudian Prabowo memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun lewat Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025. 

Kendati demikian, Fajry menilai efisiensi belanja saja tidak akan cukup memenuhi berbagai kebutuhan pemerintahan ke depan. Oleh sebab itu, dia mengatakan pemerintah perlu menggali sumber penerimaan baru.

"Dengan kondisi politik yang ada perlu kebijakan pajak yang progresif. Pajak minimum bagi kelompok super kaya bisa menjadi opsi," katanya.

Dia mengatakan opsi ini dapat diterapkan pada wajib pajak super kaya yang belum patuh. Sementara itu, wajib pajak super kaya yang telah patuh tidak akan dikenakan pajak tambahan.

Selain itu, Fajry mencatat ada piutang pajak tak tertagih dalam kisaran Rp39 triliun sampai dengan Rp44 triliun selama periode 2018—2022. Menurutnya, pemerintah perlu tegas menagih piutang pajak tersebut di tengah keterbatasan fiskal.

"Ini perlu evaluasi, ada apa? Apakah perlu sokongan dalam penagihan?" tanyanya.

Terakhir, dia menagih janji politik penggalian penerimaan pajak dari sektor informal. Fajry melihat kunci kesuksesan rencana tersebut adalah kesiapan data. Dengan demikian, pembagian data antar kementerian/lembaga atau antar pemerintah dengan swasta harus berjalan dengan baik.

Fajry turut menyoroti pentingnya penerapan kebijakan nonpajak, terutama dari sisi kebijakan dagang dan kebijakan industri. Dia meyakini kedua kebijakan tersebut dapat meningkatkan penerimaan pajak secara tidak langsung langsung.

Fajry mengatakan industri manufaktur merupakan salah satu sumber pajak penting negara. Namun, industri dalam negeri tengah tantangan persaingan usaha yang berat karena masuknya produk murah dari China.

Tak hanya itu, keberlangsungan industri manufaktur padat karya yang berada di persimpangan bakal berpengaruh pada struktur tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja formal yang berkurang bakal membuat pemerintah makin sulit menggali sumber penerimaan pajak.

"Sudah saatnya pemerintah tegas pada produk-produk super murah dari China. Ini berdampak secara tidak langsung terhadap penerimaan pajak," tekannya.

Fajry juga mewanti-wanti Prabowo untuk tidak menerbitkan keputusan yang memantik kemarahan masyarakat seperti tax amnesty atau kebijakan bebas pajak bagi family office. Mengingat salah satu basis dukungan politik yang berasal dari kelas menengah-bawah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper