Bisnis.com, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti komitmen kabinet pemerintah Presiden Prabowo Subianto terkait pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang hingga kini belum jelas.
Hal ini diungkapkan dalam studi evaluasi kinerja Prabowo-Gibran Rakabuming Raka dalam 100 hari kerja yang dirilis pada Selasa (21/1/2025) ini.
Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia belum tegas merilis PLTU mana saja yang akan dimatikan pada 2025. Padahal, Prabowo sudah berucap komitmen pemensiunan PLTU di forum G20 Brasil.
"Belum ada list sampai hari ini PLTU batu bara mana yang akan dimatikan pada 2025, padahal semua menunggu. Apakah pensiun PLTU batu bara ini rencana yang serius atau hanya sekadar mencerminkan Indonesia perlu transisi energi, jadi sampai sekarang belum ada kejelasan," kata Bhima dalam media briefing secara virtual.
Bhima menjelaskan, antara masalah energi, pangan dan lingkungan hidup ada kegagalan membaca situasi. Menurutnya, swasembada energi seharusnya tidak bertolak belakang dengan konservasi hutan.
Pasalnya, kalau hutan makin hilang, misalnya demi co-firing PLTU (campuran cacahan kayu), Indonesia bakal dikecam dunia internasional. Selain itu, hal tersebut juga menurunkan dukungan pembiayaan global untuk konservasi hutan sekaligus transisi energi.
Sebelumnya, Prabowo menargetkan suntik mati PLTU dalam 15 tahun ke depan. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Brasil, Prabowo optimistis Indonesia akan mencapai target emisi nol atau net zero emission sebelum 2050.
Janji tersebut lebih cepat 10 tahun dari target pemerintahan sebelumnya, yaitu emisi nol pada 2060. Menurutnya, pensiun dini PLTU tenaga batu bara bisa terealisasi dalam 15 tahun ke depan lantaran RI memiliki cadangan geotermal atau panas bumi yang melimpah.
"Kami berencana untuk memensiunkan pembangkit tenaga listrik dan energi fosil kami dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun 75 gigawatt pembangkit listrik energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan," ujarnya pada Sesi Ketiga Pertemuan Pemimpin Negara G20 di Museu de Arte Moderna, Rio de Janeiro, Brasil, Selasa (19/11/2024).
Di sisi lain, Indonesia masih banyak bergantung terhadap PLTU, khususnya yang berbasis batu bara dalam memenuhi kebutuhan energi. Hal itu mengingat batu bara masih menjadi sumber energi yang paling murah.
Kementerian ESDM melaporkan bahwa per Agustus 2024, bauran PLTU dalam penyediaan tenaga listrik nasional masih mendominasi, yakni sekitar 67%. Realisasi ini masih belum sesuai target APBN 2024 yang dipatok sebesar 65,72%. Sementara itu, kontribusi pembangkit dari panas bumi hanya sekitar 5%, air sebesar 7%, biomassa dan EBT lainnya 0%.
Baca Juga
Berdasarkan data Kementerian ESDM 2022, Indonesia memiliki 253 PLTU. PLTU itu tersebar di berbagai provinsi. Dari jumlah tersebut, PLTU terbanyak berada di Kalimantan Timur, yaitu 26 unit. PLTU juga banyak tersebar Banten dan Jawa Timur yang masing-masing sebanyak 22 unit.
Kemudian, ada 16 PLTU yang berada di Bangka Belitung. Ada pula 13 PLTU yang beroperasi di Kalimantan Barat. Sementara, Papua Barat hanya memiliki satu PLTU di wilayahnya.
Posisinya diikuti oleh enam provinsi yang sama-sama memiliki enam PLTU, yaitu Aceh, Bengkulu, Jakarta, Jambi, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat. Adapun, terdapat dua provinsi yang tidak memiliki PLTU sama sekali. Kedua provinsi tersebut adalah Yogyakarta dan Maluku.
Lebih lanjut, PLTU yang memiliki kapasitas terbesar di Indonesia adalah PLTU Jawa 7. PLTU yang terletak di Kabupaten Serang, Banten tersebut berkapasitas 2 x 1.000 megawatt dari dua unit.