Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ongkos Mahal Kurangi Emisi Karbon di PLTU

Mahalnya penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) di PLTU dapat mengerek biaya produksi listrik.
Ilustrasi PLTU Suralaya/Dok. PLN
Ilustrasi PLTU Suralaya/Dok. PLN

Bisnis.com, JAKARTA - Masalah keekonomian masih menjadi kendala bagi PLN untuk menerapkan teknologi carbon capture and storage (CCS) di pembangkit listriknya, terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Mahalnya biaya CCS dapat mengerek biaya produksi listrik.

Penggunaan CCS merupakan upaya PLN untuk menekan emisi karbon, selain melakukan phase out atau pemberhentian bertahap pengoperasian PLTU.

Presiden Direktur PT PLN Enjiniring Chairani Rachmatullah menyebut, tarif untuk menangkap dan menyimpan karbon dengan teknologi CCS di PLTU masih cukup mahal yakni sebesar US$40 per ton karbon yang disimpan.

"Kalau ditanya sampai mana CCS dan CCUS di PLN, kita studi, biayanya masih US$40 per ton. Sementara kalau di gas itu mungkin bisa di US$12, US$15, US$20, jadi bisa masuk 2-3 kali lipatnya," kata Chairani dalam agenda Understanding Carbon Capture and Storage (CCS), dikutip Minggu (19/1/2025).

Dia menerangkan, dengan tarif simpan karbon US$40 per ton tersebut, maka ongkos produksi listrik yang harus dikeluarkan PLN mencapai US$12 sen per kWh. Sementara itu, biaya produksi ideal dari PLN maksimal US$8 sen per kWh untuk dapat mencapai tarif listrik Rp1.467 per kWh yang diterapkan saat ini.

"Jadi US$4 sen itu kelebihan itu yang harus ditanggung oleh subsidi, kita sayang kenapa negara harus menyubsidi PLN, sementara uang itu kita butuhkan untuk bangun sekolah, bangun jembatan, rumah sakit, kenapa nggak uangnya lari ke situ," ujarnya.

Untuk itu, dalam menerapkan CCS, PLN tetap perlu memperhitungkan agar biaya pokok penyediaan listrik murah sehingga tarif listrik tetap terjangkau. Kendati demikian, PLN tetap berencana untuk memulai pemasangan CCS pada sejumlah pembangkitnya mulai 2040.

Adapun, pembangkit yang direncanakan untuk dipasang CCS yaitu  PLTU Suralaya (batu bara) Unit 1-7, PLTU Indramayu (batu bara) Unit 1-3, PLTGU Tambak Lorok (gas) Block 1-2, PLTU Tanjung Jati B (batu bara) Unit 1-4.

Sembari mengkaji keekonomian dari pemasangan CCS, PLN juga terus mengembangkan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) mulai dari air, solar panel, geotermal, dan lainnya. 

"Jadi ini challenge buat para engineer, bukan masalah, wong teknologinya ada, mau dipasang, pasang aja tapi kan biaya jadi naik, akhirnya subsidi listriknya jadi bertambah karena itu kita harus pilih betul beberapa lokasi yang kita mau pakai CCS," terangnya.  

Saat ini, PLN tengah mengkaji model perhitungan keekoomian yang lebih baik sehingga dapat mendapatkan harga yang paling rendah. Dia berharap harga pemasangan dan penyimpanan karbon dari PLTU dengan CCS bisa lebih murah. 

"Usulan kami dari para engineer seperti itu, dengan begitu kita harapkan biaya sen per kWh kalau PLTU ditambahin sama kenaikan sen per kWh PLTU kalau ditambahin CCS itu masih bisa ditanggung secara sistem kelistrikan," jelasnya. 

Pensiun Dini PLTU

Sementara itu, opsi pensiun dini PLTU tak serta-merta bisa dilakukan oleh PLN. Chairani mengatakan, pensiun dini PLTU dapat dilakukan pada pembangkit yang sudah dapat digantikan dengan potensi energi baru terbarukan (EBT) dan tidak menimbulkan gangguan layanan kelistrikan. 

"Tapi kalau dia akan menimbulkan gangguan dari keandalan listrik di sana maka PLN mengusulkan tidak early retirement, tidak disuntik mati, tapi di ikuti aja sesuai umurnya, walaupun dia ngikutin sesuai umurnya pun bebannya terus diturunkan, sambil kita nambah pembangkit EBT di sekitar sana," kata Chairani.

PLN belakangan memang memilih mengambil skema pengurangan capacity factor (CF) PLTU atau coal phase down ketimbang pensiun dini pembangkit untuk mengejar target nol emisi karbon.

Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa skema pensiun dini PLTU batu bara relatif sulit dilakukan atau tidak feasible untuk dieksekusi. 

Darmawan beralasan skema phase out tanpa dukungan pendanaan murah dari lembaga keuangan internasional cenderung berisiko tinggi untuk keberlanjutan keuangan perusahaan setrum pelat merah tersebut. 

PLN telah membuat simulasi ihwal skema pensiun dini PLTU lewat skenario Ultra Accelerated Renewable with Coal Phase Out (ULTRA RE Coal Phase Out). 

Dalam skenario itu, PLN bakal memasukkan kapasitas pembangkit EBT secara intensif bersamaan dengan melakukan pensiun dini PLTU dalam kurun 2031 sampai dengan 2040. 

“Ternyata memang kalau kita melihat dari sudut pandang keandalan dari operasi sistem, skenario empat dan lima ternyata tidak feasible secara operasi sistem,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Jakarta, Kamis (30/5/2024). 

Dalam skenario ini, pembangkit listrik tenaga hidro dan panas bumi ditargetkan terpasang mencapai 61GW disusul gas sekitar 15 GW. Adapun, variabel dari pembangkit bayu dan surya dipatok 103 GW. Sementara itu, energi baru diproyeksikan mencapai 23 GW. 

Di sisi lain, kata Darmawan, PLN cenderung memilih skenario moderat, yakni lewat pengurangan capacity factor PLTU batu bara atau coal phase down ketimbang pensiun dini pembangkit untuk mengejar target nol emisi karbon. 

Skema itu dijabarkan PLN lewat skenario Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down (ACCEL RE Coal Phase Down), dengan proyeksi tambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 62 GW atau 75% dari kapasitas terpasang pembangkit sampai dengan 2040 mendatang.  

Sementara itu, pembangkit gas bakal mengambil bagian 25% dari kapasitas pembangkit nasional dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) hingga 2040 nanti. 

“Dengan coal phase down ini suatu skenario yang sangat ideal secara operasi sistem ini masih sangat andal dan juga dampak terhadap keuangan PLN ini secara korporasi masih kuat untuk menanggung ini, financial sustainability-nya bisa terjaga,” kata dia. (Nyoman Ary Wahyudi).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper