Bisnis.com, JAKARTA - Hasil survei tentang prospek perekonomian global 2025 terhadap lebih dari 800 ahli oleh Inigo Insurance bagian dari Lloyd Group, perusahaan asuransi yang berbasis di Inggris, terangkum dalam laporan Global Forecast Series 2025.
Pertanyaan utamanya, apakah perekonomian global akan lebih kuat atau lemah pada 2025 dibandingkan dengan 2024?
Global Forecast Series 2025 menyimpulkan bahwa perekonomian global pada 2025 hanya sedikit lebih kuat dibandingkan dengan 2024. Tingkat keyakinan terhadap outlook positif (proyeksi terjadi peningkatan) perekonomian global sekitar 51% dan tidak yakin 49%.
Kondisi ini disebabkan oleh outlook negatif (proyeksi terjadi penurunan) terhadap lima perekonomian dengan kontribusi terbesar terhadap perekonomian global, yaitu: Amerika Serikat (AS), zona Euro, Jepang, Kanada, dan Korea.
Sementara Emerging Markerts Economies (EMEs), seperti China, Indonesia, India, Brazil, dan Afrika Selatan memiliki outlook positif dengan keyakinan sangat kuat. Sehingga, EMEs akan menjadi jangkar pertumbuhan ekonomi global pada 2025.
Hasil survei yang dilakukan oleh Lloyd Group menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki outlook positif dengan keyakinan tertinggi. Di mana, 82% responden meyakini perekonomian Indonesia akan makin kuat dan hanya 18% tidak yakin.
Baca Juga
Tingkat keyakinan terhadap outlook positif perekonomian Indonesia lebih tinggi dibandingkan China sebesar 78%, Malaysia 75%, India 73%, Filipina 70%, Thailand 67%, dan Singapura 60%.
Hal ini sejalan dengan proyeksi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sebesar 5,1% pada 2024, 5,2% pada 2025, dan 5,1% pada 2026.
Dibandingkan dengan negara-negara G20 (Group of Twenty), pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kalah dari India. Pertumbuhan ekonomi India diprediksi sekitar 6,8% pada 2024, 6,9% pada 2025 dan 6,8% pada 2026.
Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih besar dibandingkan pertumbuhan ekonomi China yang diperkirakan hanya 4,9% pada 2024, kemudian menurun menjadi 4,7% pada 2025, dan kembali melambat menjadi 4,4% pada 2026.
Dari sisi penawaran (supply side), berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2024 tergantung pada tiga sektor, yaitu sektor konstruksi yang tumbuh 7,48%, perdagangan dan jasa tumbuh 4,82%, serta industri pengolahan tumbuh 4,72%.
Dari sisi permintaan (demand side), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2024 digerakkan oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,91%, belanja pemerintah tumbuh 4,62%, dan investasi tumbuh 5,15%.
Secara sektoral, perekonomian Indonesia masih sangat bertumpu pada enam sektor utama, yaitu industri manufaktur dengan kontribusi 19,02%, pertanian 13,71%, perdagangan 13,09%, konstruksi 10,06%, pertambangan 9,06% serta pergudangan dan transportasi 6,17% pada 2024.
Kinerja keenam sektor di atas diamati dari sisi pertumbuhan tahunan (year-on-year) pada kuartal III/2024, pertumbuhan terendah dialami oleh sektor pertanian, yaitu hanya 1,69% serta tertinggi adalah sektor transportasi dan pergudangan sekitar 8,64%.
Hal menarik, tingginya pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan yang didorong oleh meningkatnya jumlah pengiriman barang, khususnya barang-barang e-commerce yang diproyeksi akan tumbuh makin tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Lalu pertanyaannya, langkah apa yang dapat dilakukan oleh pemerintahan Prabowo untuk mengejar target pertumbuhan 8,0% pada 2027 meskipun lembaga-lembaga keuangan dan bisnis internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,0%—5,3% hingga tahun 2026?
Menjawab pertanyaan di atas, kita mulai dari mengamati Gross Domestic Product (GDP) secara sektoral, di mana penggerak utama perekonomian nasional adalah sektor manufaktur, tetapi dengan kontribusi yang makin turun, yaitu dari 21,08% pada 2014 menjadi sekitar 18,67% terhadap GDP pada 2023.
Secara lebih detail, pertumbuhan industri manufaktur sendiri sangat bergantung pada industri makanan dan minuman berbasis sektor pertanian. Kondisi ini sangat tidak memadai untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 8,0% pada 2027-2029.
Tidak ada pilihan lain, strategi industrialisasi nasional harus masuk ke industri berteknologi tinggi berorientasi ekspor dengan konten R&D serta inovasi yang sangat tinggi, seperti industri otomotif, elektronik, semikonduktor, galangan kapal, pesawat terbang, dan lainnya.
Kontribusi kelompok industri di atas dalam perekonomian Indonesia masih sangat kecil. Padahal, merujuk pada pengalaman Korea dan Jepang dalam transisi menuju pertumbuhan tinggi untuk menjadi negara maju sangat bertumpu pada industri berorientasi ekspor yang bersifat capital intensive dengan konten R&D serta inovasi yang sangat tinggi.
Pemerintahan Prabowo harus realistis bahwa meskipun terdapat tambahan investasi Rp14.000 triliun hingga 2029, tanpa dukungan dari sektor manufaktur berteknologi tinggi berorientasi ekspor yang kuat, akan sangat sulit mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari 5,0%—5,3% menjadi 8,0% pada 2027—2029.
Akhirnya, pemerintahan Prabowo harus fokus mengakselerasi transformasi ekonomi nasional dari faktor driven economy, yaitu perekonomian yang digerakkan oleh Sumber Daya Alam (SDA) non olahan menuju knowledge based economy sebagai perekonomian yang digerakkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi (productivity driven) dengan ketersediaan tenaga kerja terampil melimpah, didukung oleh R&D dan inovasi.