Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai kondisi manufaktur nasional masih perlu diwaspadai meskipun Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia berhasil masuk kembali ke zona ekspansi pada Desember 2024 setelah 5 bulan sebelumnya kontraksi berturut-turut.
Berdasarkan laporan S&P Global, Kamis (2/1/2025), PMI manufaktur Indonesia menguat ke posisi 51,2 pada Desember 2024, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi di level 49,6. Angka indeks ini juga tertinggi sejak Mei 2024.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan, industri pengolahan nonmigas masih mengkhawatirkan dengan masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri yang tertekan.
"PHK periode Januari-November ini kalau dibandingkan periode yang sama tahun lalu kurang lebih menurut saya sudah ada kenaikan 12%, ini angka yang besar dan menurut saya sudah harus pemerintah cari jalan untuk menguatkan industri manufaktur," kata Andry kepada Bisnis, Kamis (2/1/2025).
Sementara itu, jika merujuk pada Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja yang menjadi korban PHK periode Januari-Desember 2023 sebanyak 64.885 orang. Sementara itu, data sementara periode Januari-Desember 2024, sebanyak 80.000 pekerja ter-PHK.
Melihat kondisi tersebut, Andry menyebutkan pentingnya paket kebijakan stimulus yang terarah dan tepat sasaran. Dalam hal ini, kebijakan insentif fokus untuk penurunan biaya produksi melalui insentif fiskal maupun nonfiskal yang terstruktur dalam jangka waktu 1-2 tahun ke depan.
Baca Juga
"Yang kita tekankan dua hal, dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply itu produksi, bagaimana kita bisa menurunkan biaya produksi, energi dan bahan baku, kita juga bicara untuk menurunkan biaya distribusi, biaya yang pada akhirnya memberikan tekanan kepada industri itu juga harus diperhatikan," ujarnya.
Tak hanya itu, dia melihat adanya beberapa shadow cost atau biaya yang tak terlihat lantaran banyaknya oknum yang bermain di lapangan usaha industri sehingga memberatkan kondisi tersebut.
Sedangkan dari sisi permintaan, Andry menyoroti kebijakan proteksi pasar yang mesti diperkuat karena saat ini produk impor legal dan ilegal telah menekan daya saing produk industri lokal karena terlampau murah.
"Kedua hal ini butuh intervensi pemerintah, pertama bagaimana pemerintah bisa melindungi pasar dalam negeri dari gempuran produk murah yang pada akhirnya terindikasi dumping, kedua produk murah karena masuk secara ilegal, dua hal ini harus segera diberantas," tuturnya.
Oleh karena itu, perlindungan larangan dan pembatasa (lartas) impor serta instrumen trade remedies masih diperlukan bagi pelaku usaha agar produk yang dihasilkan dapat berkompetisi dengan level playing field yang adil dan sehat.
Di samping itu, pihaknya juga melihat penting untuk memberikan insentif tambahan berupa diskon atau subsidi bagi perusahaan asing yang mau berinvestasi di Indonesia dengan menggandeng industri lokal.
"Tanpa ada paket kebijakan stimulus, pemerintah segaja mematikan idnustri dalam negeri, jika tidak ada paket kebijakan yang tidak komprehensif maka menurut saya omong kosong pertumbuhan ekonomi 8%," pungkasnya.