Bisnis.com, YOGYAKARTA - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih diandalkan untuk menjadi salah satu industri prioritas yang dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi 8%, meskipun dalam 2 tahun terakhir industri tersebut diterpa gelombang PHK massal, kepailitan maupun penutupan pabrik.
Hal ini ditunjukkan dari perkembangan kinerja industri TPT dan pakaian terhadap produk domestik bruto (PDB) yang tumbuh 3,32% secara kumulatif hingga triwulan III/2024 atau naik dari periode yang sama tahun sebelumnya -1,98%. Adapun, kontribusi terhadap PDB mencapai 0,99% pada kuartal ketiga tahun ini.
Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto mengatakan, pemulihan kinerja tersebut sejalan dengan trajektori pemerintah, di mana industri TPT ditarget tumbuh hingga 5% dalam 5 tahun ke depan.
"Dengan trajektori bahwa industri tekstil, pakaian jadi dan alas kaki yang padat karya masih menjadi industri yang diharapkan memberikan peran secara khusus untuk pertumbuhan ekonomi kita," kata Adie dalam Outlook Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Tahun 2025, dikutip Rabu (18/12/2024).
Secara terperinci, pada tahun depan industri TPT dibidik dapat tumbuh 4,30% dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 1,07% untuk mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional 8%. Sektor ini juga didorong menyerap tenaga kerja hingga 3,98 juta orang pada 2025.
Adapun, realisasi pada tahun 2023 sebesar 3,76 juta pekerja industri TPT dan realisasi per Februari 2024, berdasarkan data Sakernas mencapai 3,87 juta orang atau berkontribusi menyerap tenaga kerja 20,51% terhadap total serapan tenaga kerja manufaktur.
Baca Juga
"Trajektori kita ini sebelum munculnya persoalan pelik industri padat karya, bagaimana tiba-tiba di awal bulan ini muncul misalnya soal UMP [upah minimum provinsi] yang naik cukup tajam ini bagi industri padat karya cukup besar," tuturnya.
Wakil Ketua API Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Timothy Apriyanto mengatakan, industri TPT yang dapat bertahan di masa mendatang yang penuh tantangan ini hanya industri yang menghasilkan produk bernilai tinggi.
Menurut dia, industri TPT berskala kecil dan menengah, maupun industri besar masih mampu bertahan dan tumbuh dengan memanfaatkan peluang pasar ekspor ke kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
"Hanya saja perusahaan kelas menengah yang sebetulnya bermasalah dan tidak bisa bertahan di era yang penuh ketidakpastian ini, mereka tidak bisa bertahan dalam disrupsi rantai pasok kebutuhan domestik," ujar Timothy saat ditemui usai agenda Outlook IKFT 2025.
Kondisi tersebut dikarenakan turunnya permintaan, supply terkoreksi, teknolgi dan inovasi yang kurang efisien sehingga produktivitas dan daya saing menurun. Terlebih, kompetitor di pasar domestik makin besar dari China dan Vietnam.
Di sisi lain, dia juga menyoroti permasalahan sektor hulu tekstil yang dibombardir produk asal China mulai dari rayon, polyester, benang wol hingga kapas. Kondisi ini yang menyebabkan industri hilir ikut tertekan.
"Kita kapas 100% bergantung dengan China dan Korea, padahal menurut sejarah kita pernah ekspor kapas, untuk itu diperlukan inisiatif untuk menggerakkan lagi petani kapas," jelasnya.
Dalam hal ini, Timothy menerangkan bahwa Indonesia membutuhkan lahan seluas 350.000 hektare untuk mendorong produksi kapas dalam negeri sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada produk impor.