Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Energi Nasional (DEN) tengah membentuk Komite Pelaksana Program Energi Nuklir (KP2EN) guna memastikan bahwa target komersialisasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 2032 dapat tercapai.
Ketua Harian Dewan Energi Nasional Bahlil Lahadalia mengatakan, pembentukan KP2EN penting dan akan menjadi fokus DEN pada tahun depan. Pemerintah juga tengah menyusun draf rancangan Peraturan Presiden (Perpres) KP2EN.
"Telah disusun draf R-Perpres tentang KP2EN, kemudian telah dilakukan sosialisasi dan eksekusi PLTN dalam mendukung transisi energi menuju net zero emission 2060," kata Bahlil dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Senin (2/12/2024).
Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa PLTN merupakan terobosan yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan bauran energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah menargetkan PLTN dapat beroperasi pada 2032 meski dalam skala yang kecil.
Adapun, pada tahap awal PLTN akan dibangun dengan skala kapasitas terpasang sebesar 250-500 megawatt (MW). Namun, dia memastikan skala pembangkit tersebut akan meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut Bahlil, operasional PLTN merupakan salah satu cara untuk menurunkan nilai cost listrik, sekaligus untuk menuju transisi ke EBT.
Baca Juga
"Menyangkut 2025 kami mulai fokus untuk membahas aturan-aturan yang terkait dengan nuklir. Karena 2032 dalam program itu kami berpikir bukan baru mulai tapi kalau bisa sudah ada yang jalan itu jauh lebih baik," ujarnya.
Sebelumnya, Indonesia tengah berunding dengan Amerika Serikat dan Rusia terkait perolehan teknologi untuk mengembangkan PLTN.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati menuturkan, Indonesia berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir paling cepat pada tahun 2036 untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil.
Dia menuturkan, Indonesia terbuka untuk reaktor modular kecil dan teknologi nuklir konvensional, katanya dalam sebuah wawancara video. Di Indonesia, pembangkit listrik tenaga nuklir telah menjadi topik kontroversial karena negara itu rawan gempa bumi.
"Kita harus mendapatkan restu dari presiden, dan tentu saja, kita harus berbicara dengan mitra internasional. Saya pikir, perjalanan masih sangat panjang," katanya dikutip dari Bloomberg, Minggu (1/12/2024).
Data dari lembaga think tank energi Ember menunjukkan, 30 negara, sembilan di antaranya berada di Asia, menggunakan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik.