Bisnis.com, JAKARTA - Di Baku ibu kota Azerbaijan yang berada di ujung barat benua Asia, ribuan delegasi dari berbagai negara hadir memenuhi perhelatan global COP 29 yang dilaksanakan pada 11—22 November 2024. Kehadiran mereka secara khusus membahas kebijakan penanganan perubahan iklim yang sudah akut dan saat ini makin memburuk.
COP 29 atau United Nations Climate Change Conference merupakan perhelatan yang diselenggarakan setiap tahun dihadiri para pemangku kebijakan dunia, mulai dari kepala negara, pimpinan perusahaan multinasional, lembaga multilateral, pegiat lingkungan hidup dan stakeholders lainnya.
Delegasi Indonesia yang dipimpin Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menegaskan komitmen dan rencana pemerintah Indonesia mempercepat proses transisi energi dengan membangun 100 GW pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan, termasuk energi nuklir.
Selain upaya transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, Indonesia juga mengumumkan akan melakukan rehabilitasi hutan seluas 12 juta hektare. Pernyataan sekaligus komitmen ini mengirimkan sinyal kuat bahwa Indonesia memprioritaskan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan.
Meski total investasi untuk mencapai program transisi energi ini akan memakan biaya sekitar US$235 miliar, tetapi sejumlah lembaga pembiayaan telah menyatakan ketertarikannya untuk mendalami rencana akselerasi transisi energi kita.
TRANSISI ENERGI BUTUH KOLABORASI
Sebagai peserta sekaligus pemateri dalam forum COP 29, saya menegaskan kembali kebutuhan energi Indonesia ke depan akan sejalan dengan komitmen kita terhadap Perjanjian Paris untuk melakukan dekarbonisasi dengan target mencapai Net Zero Emission pada 2060.
Melalui forum tersebut saya juga menekankan pentingnya dukungan negara-negara maju, lembaga keuangan komersial dan multilateral agar negara-negara berkembang yang memiliki ambisi penurunan emisi karbon secara signifikan seperti Indonesia tidak dibiarkan “berjalan sendiri”.
Sesungguhnya potensi pengembangan sumber energi terbarukan di Indonesia sangat besar yakni 3700 GW dengan 3300 GW diantaranya berasal dari tenaga matahari.
Hanya saja, saat ini baru sekitar 14% dari total bauran energi nasional yang memanfaatkan energi terbarukan, padahal target awal kita adalah 23% di tahun 2025, yang tampaknya mustahil tercapai.
Karenanya, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional target ini telah “disesuaikan” menjadi 17%—19% pada 2025 mendatang.
Faktanya, kompleksitas permasalahan di sektor energi nasional terbilang tinggi seperti pembangkit listrik nasional yang 61% di antaranya masih menggunakan batu bara, tingginya nilai investasi sumber energi terbarukan seperti panas bumi, masalah keandalan sumber energi seperti Bayu dan tenaga Surya, serta belum tersambungnya jaringan transmisi dari sumber-sumber energi terbarukan ke sentra konsumen listrik.
Bahkan jika daftar belanja masalah di sektor energi terbarukan ini diperluas, kita akan mencatat permasalahan klasik tetapi pelik seperti regulasi, teknologi dan investasi/finansial yang perlu segera diurai agar proses transisi energi di Indonesia bisa segera lepas landas (take off).
Sebagai pimpinan Komisi Energi di parlemen sepanjang 2019—2024, saya bersama pimpinan dan anggota lainnya terus mendorong agar seluruh pemangku kepentingan di bidang energi nasional mulai duduk bersama merumuskan solusi untuk segenap permasalahan yang menghambat transisi energi.
Harus ada kesepakatan bersama dalam agenda hingga kebijakan untuk merumuskan peta jalan, mempersiapkan solusi hingga jadwal pelaksanaan program transisi energi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif para pengambil kebijakan.
REGULASI, TEKNOLOGI, INVESTASI
Dari aspek regulasi, pemerintah Presiden Prabowo dapat memetik quick wins dengan mengesahkan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan yang hampir rampung. Bahkan legislasi lainnya di sektor energi seperti revisi UU Kelistrikan, UU Migas dan bahkan UU Panas Bumi dapat dimulai segera agar strategi besar energi nasional dapat dituangkan di dalam berbagai produk perundangan di atas.
Sementara untuk permasalahan di sektor teknologi, Indonesia harus segera mempercepat kemampuan menyerap teknologi mutakhir seperti di bidang penyimpanan energi (baterai), produksi panel surya, pengeboran panas bumi dan lain-lain. Kapasitas industri dan manufaktur dalam negeri juga harus didongkrak untuk memastikan bahwa “pesta” transisi energi dinikmati seutuhnya oleh pelaku industri, UMKM serta tenaga kerja nasional.
Selain itu, peningkatan kapasitas dan keterampilan tenaga kerja juga perlu dipacu lebih lanjut, mulai dari sekolah-sekolah vokasi sampai dengan tingkat perguruan tinggi agar tenaga kerja kita handal dalam mengelola teknologi yang akan dibangun di sektor energi hijau.
Masalah yang tidak kalah rumitnya adalah persoalan investasi dan pendanaan untuk mencapai emisi nol bersih di tahun 2060 yang diperkirakan mencapai 700 miliar dolar AS. Artinya untuk 35 tahun yang akan datang, Indonesia membutuhkan sekitar US$20 miliar per tahun untuk mencapai target tersebut.
Tentu ini bukan angka kecil dan tidak sekedar membutuhkan kemampuan untuk merancang skema pendanaan yang layak dibiayai saja, namun juga melakukan penetrasi ke seluruh lembaga keuangan konvensional maupun kantong-kantong pendanaan non tradisional.
BUKAN MASALAH INDONESIA SEMATA
Rasanya sudah tidak tepat menggunakan istilah “perubahan iklim di saat kenyataan yang ada di depan mata menunjukkan kondisi “krisis iklim”. Penggunaan istilah climate crisis, selain menggambarkan tantangan dunia sesungguhnya juga akan mendorong para pemimpin dunia, termasuk Indonesia untuk menggunakan manajemen krisis untuk penanganannya.
Penurunan emisi karbon, rehabilitasi hutan dan mangrove serta berbagai aksi penyelamatan lingkungan hidup lainnya memerlukan kerja sama seluruh pemerintah dunia, lembaga multilateral dan lembaga keuangan internasional.
Perlunya akselerasi transisi energi bukan masalah Indonesia saja karena Brasil, India, Mexico dan negara-negara lainnya tidak akan mampu membangun serta membiayai kebutuhan transisi energinya secara mandiri.
Diperlukan kolaborasi yang erat antara mereka yang telah berhasil melakukan transformasi energi menuju energi hijau dengan negara yang masih bergulat dengan proses perencanaan, penerapan regulasi dan teknologi serta sibuk mencari sumber dana agar target bersama ini bisa dicapai.
Climate action yang menjadi harapan warga dunia sering terbentur oleh development action negara-negara yang tengah menggenjot pertumbuhan ekonominya, seperti Indonesia. Tanpa dukungan riil dari negara-negara adi ekonomi dunia maka mustahil program dekarbonisasi nasional kita bisa mencapai target.
Oleh karenanya Indonesia perlu melakukan diplomasi lingkungan hidup atau diplomasi hijau secara lebih proaktif agar kita bisa menghentikan krisis iklim, segera sebelum semakin banyak sungai mengering, semakin sering terjadi cuaca ekstrem dan semakin sulit menghirup udara berkualitas.