Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Rokok Terpukul PP Kesehatan, RI Berpotensi Kehilangan Rp380 Triliun

Kebijakan terkait dengan pembatasan produk rokok dalam PP Kesehatan berpotensi merugikan penerimaan negara dan memicu penyebaran rokok ilegal.
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Aturan pembatasan produk lewat beleid PP Kesehatan dan rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok dalam aturan turunannya dinilai dapat mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengatakan kebijakan tersebut berpotensi merugikan penerimaan negara dan memicu penyebaran rokok ilegal

Berdasarkan hasil kajian Indef, dampak ekonomi yang akan hilang jika kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek itu diterapkan dapat mencapai Rp308 triliun. 

"Rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran," kata Andry dikutip Senin (11/11/2024). 

Dengan kebijakan tersebut, produsen rokok ilegal akan semakin mudah menyebarkan produknya, karena seluruh kemasan rokok tidak memiliki identitas merek.

"Mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk," jelasnya.

Dari sisi penerimaan negara, hasil kajian Indef menyebut ada potensi hilangnya penerimaan pajak sebesar Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai.

Menurut Andry, apabila regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Sebagai informasi, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bahkan, sebelum pandemi, industri ini menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, meskipun angka tersebut terus menurun setiap tahunnya.

Serapan tenaga kerja industri ini juga cukup tinggi yakni sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini.

“Pada 2019, industri ini menyerap 32% dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak,” jelasnya.

Andry mengungkap pentingnya fokus pada empat hal utama untuk keberlanjutan industri ini yaitu penerimaan negara, pengendalian konsumsi, perlindungan tenaga kerja, dan penanganan rokok ilegal. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper