Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya atau disebut OPEC+ sepakat untuk menunda kenaikan produksi minyak pada Desember 2024 selama satu bulan.
Penundaan ini merupakan kedua kalinya ditengah upaya mereka menghidupkan kembali pasokan karena pelemahan harga di tengah prospek ekonomi yang rapuh.
Kelompok yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia itu sedianya memulai serangkaian peningkatan produksi bulanan dengan menambahkan 180.000 barel per hari mulai Desember 2024 mendatang.
Namun, mereka sekarang akan membatasi pasokan selama bulan tersebut, menurut sebuah pernyataan yang diposting di situs OPEC pada Minggu (3/11/2024).
OPEC+ telah menunda dimulainya kembali perdagangan pada Oktober karena melemahnya permintaan di China dan membengkaknya pasokan dari Amerika Serikat (AS) yang menekan harga. Harga minyak Brent berjangka telah merosot 17% dalam empat bulan terakhir dan diperdagangkan mendekati US$73 per barel, terlalu rendah bagi Saudi dan banyak negara lain di OPEC+ untuk menutupi pengeluaran pemerintah.
"Kondisi pasar menang. OPEC+ menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengabaikan realitas ekonomi makro saat ini yang berpusat di China dan Eropa, yang menunjukkan melemahnya pertumbuhan permintaan minyak," ujar Head of Oil Research di Onyx Commodities Ltd. Harry Tchilinguirian, dikutip dari Bloomberg, Senin (4/11/2024).
Baca Juga
Penundaan lebih lanjut mungkin tidak memberikan banyak manfaat bagi pasar, karena hal ini telah diantisipasi oleh banyak pedagang. Pasar global masih menghadapi kelebihan pasokan pada tahun depan meskipun aliansi OPEC+ menahan diri untuk tidak meningkatkan pasokan, menurut perkiraan Badan Energi Internasional di Paris.
Sementara itu, Citigroup Inc. dan JPMorgan Chase & Co. memperkirakan harga akan turun hingga $60an pada tahun 2025.
Langkah OPEC+ cukup positif, kata analis di UBS Group AG Giovanni Staunovo. Menurutnya, pasar akan fokus pada respons Iran terhadap serangan Israel dan hasil pemilu AS.
Pasar minyak mentah sebagian besar mengabaikan konflik selama setahun di Timur Tengah, termasuk serangan balasan Israel baru-baru ini terhadap Iran, karena para pedagang semakin yakin bahwa pengiriman minyak dari wilayah tersebut tidak akan terpengaruh.
Hal ini menimbulkan ancaman finansial bagi Riyadh, yang membutuhkan tingkat harga mendekati US$100 per barel untuk menutupi rencana ekonomi ambisius Putra Mahkota Mohammed bin Salman, menurut Dana Moneter Internasional. Mitra pasar minyak kerajaan, Presiden Rusia Vladimir Putin, juga membutuhkan dana untuk perangnya melawan Ukraina.
"Bagi saya, dampaknya lebih penting terhadap sentimen dibandingkan angka. Pasar telah salah dalam memandang OPEC+ sebagai keinginan membanjiri pasar untuk mendapatkan kembali pangsa pasar, namun sebaliknya, fokus utama mereka tetap mengendalikan persediaan minyak," kata Director of Research di konsultan Energy Aspects Ltd. Amrita Sen.
Pada bulan Juni lalu, OPEC+ menguraikan peta jalan untuk secara bertahap memulihkan produksi bulanan sebesar 2,2 juta barel per hari yang dihentikan selama dua tahun terakhir.
Namun kondisi fundamental yang memburuk telah menggagalkan rencana mereka, dengan permintaan di China mengalami kontraksi selama empat bulan dan pasokan meningkat di AS, Brasil, Kanada, dan Guyana. Produksi minyak AS melonjak ke rekor bulanan baru sebesar 13,4 juta barel per hari di bulan Agustus.
“Mengingat seluruh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan, mungkin yang lebih penting, pemilihan presiden AS yang akan datang, sangat masuk akal bagi OPEC+ untuk menunda penghentian pemotongan sukarela selama satu bulan tambahan,” kata Jorge Leon, Senior Vice President di konsultan Rystad Energy AS.
OPEC+ telah berjuang untuk membuat beberapa anggota—terutama Rusia, Irak dan Kazakhstan—untuk menerapkan pengurangan pasokan yang telah disepakati.
Ketiga negara tersebut telah berjanji untuk mematuhi peraturan dengan lebih baik, dan melakukan pembatasan tambahan untuk mengkompensasi kelebihan produksi. Namun, secara umum mereka melakukan produksi melebihi kuota mereka.
Aliansi 23 negara tersebut akan berkumpul pada 1 Desember untuk meninjau kebijakan untuk tahun 2025.