Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kelas Menengah Merana, Prabowo Diminta Percepat Transfer Teknologi & Ilmu dari Luar

Pengamat berpendapat percepatan transfer teknologi dan ilmu dari luar negeri menjadi salah satu kunci agar jumlah kelas menengah Indonesia kembali tumbuh.
Peneliti LPEM FEB UI Jahen F. Rezki saat sesi ketiga bertema Daya Beli Kelas Menengah Kian Kurus ! Apa Industri & Produk Yang Tergerus saat berlangsungnya acara Indonesia Industry Outlook 2025 Conference di Jakarta, Rabu (23/10/2024)./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Peneliti LPEM FEB UI Jahen F. Rezki saat sesi ketiga bertema Daya Beli Kelas Menengah Kian Kurus ! Apa Industri & Produk Yang Tergerus saat berlangsungnya acara Indonesia Industry Outlook 2025 Conference di Jakarta, Rabu (23/10/2024)./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Jahen Fachrul Rezki meyakini, percepatan transfer teknologi dan ilmu dari luar negeri menjadi salah satu kunci agar jumlah kelas menengah Indonesia kembali tumbuh.

Jahen menjelaskan, beberapa tahun belakangan jutaan kelas menengah turun 'kasta'. Sejalan dengan itu, daya beli kelas menengah juga turun sehingga terus melakukan penghematan.

Dia berpendapat, pandemi memang kurang banyak berpengaruh ke penurunan jumlah kelas menengah. Kendati demikian, ada faktor yang lebih mendasar yaitu 10 tahun terakhir perekonomian Indonesia bergerak ke sektor jasa dengan cepat.

Masalahnya, sambung Jahen, perubahan terjadi ketika industri pengelolaan alias manufaktur Indonesia belum mapan. Akibatnya, kontribusi sektor manufaktur ke produk domestik terus menurun: dari sekitar 25% pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi sekitar 19% pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Jadi ada penurunan kontribusi sektor manufacturing. Padahal sektor manufacturing kan sangat padat karya ya. Banyak masyarakat yang bisa dipekerjakan di sektor itu," ujar Jahen dalam Indonesia Industry Outlook 2025 Conference di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).

Selain itu, dia menjelaskan bahwa pemerintah seakan tidak memberikan kebijakan afirmasi ke kelas menengah selama era Jokowi. Pemerintah hanya memberi insentif ke kelas bawah seperti bantuan sosial dan kelas atas seperti amnesti pajak.

Oleh sebab itu, Jahen melihat dalam jangka pendek pemerintah Presiden Prabowo Subianto harus melakukan percepatan tranformasi teknologi dan ilmu dari luar negeri ke Indonesia. Menurutnya, beberapa tahun belakangan seakan tidak ada peningkatan produktivitas dari pekerja Indonesia.

"Jadi kalau dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam, even [bahkan] seperti Malaysia dan yang lainnya, kita belum bisa menghasilkan barang yang lebih banyak. Apa implikasinya? Investor pasti akan mencari negara yang bisa menghasilkan barang lebih dengan input yang sama," ungkapnya.

Dia pun menekankan pentingnya kebijakan perekonomian yang lebih inklusif sehingga kualitas hidup kelas menengah meningkatkan bahkan naik kelas.

Jahen mencontohkan, pemerintah perlu memastikan agar sektor-sektor yang punya value added alias penambahan nilai tinggi mampu menyerap lebih banyak pekerja.

"Mungkin butuh transfer teknologi, transfer knowledge [ilmu] yang lebih cepat agar nanti produktivitas dari sektor industri itu akan semakin tinggi, semakin banyak orang bisa bekerja dan semakin banyak ataupun semakin tinggi gaji yang muncul," jelasnya.

Kelas Menengah Turun Kasta

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa setidaknya 9,4 juta penduduk kelas menengah telah turun kasta ke kelompok aspiring middle class alias menuju kelas menengah selama 2019 sampai dengan 2024.

Angka penurunan tersebut disampaikan oleh Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (28/8/2024).

Berdasarkan penjelasan Amalia, kategori kelas menengah adalah penduduk dengan konsumsi per kapita 3,5—17 kali garis kemiskinan. Dalam konteks Indonesia pada 2024, yang masuk kategori kelas menengah adalah penduduk yang pengeluarannya Rp2.040.262—9.909.844 per bulan.

Dia menunjukkan, pada 2019 tercatat ada 57,33 juta kelas menengah atau 21,45% dari total penduduk Indonesia. Kini pada 2024, jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.

Pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah dan persentase kelompok penduduk rentan miskin (dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta atau dari 20,56% menjadi 24,23%) dan menuju kelas menengah (dari 128,85 juta menjadi 137,50 juta atau dari 48,2% menjadi 29,22%).

Artinya, 9,4 juta penduduk kelas menengah yang hilang selama 2019—2024 mengalami turun kasta, bukannya naik kasta. Amalia menilai, pandemi covid-19 pada 2020 menjadi salah satu alasan utama penurunan kasta jutaan kelas menengah tersebut.

"Kami mengidentifikasi masih ada scaring effect dari pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kelas menengah," jelasnya dalam rapat.

Daya Beli Kelas Menengah Anjlok

Sementara itu, survei terbaru dari Investure bertajuk Indonesia Industry Outlook 2025 menunjukkan 49% kelas menengah mengakui alami penurunan daya beli.

Founding Chairman Indonesia Industry Outlook Yuswohady menjelaskan, survei menunjukkan bahwa tiga alasan utama penurunan daya beli kelas menengah karena kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), dan pendapatan yang stagnan (45%).

"Saya kira angka yang sangat besar 49%, [kelas menengah] daya belinya menurun," ujar Yuswohady dalam konferensi pers secara daring, Rabu (23/10/2024).

Sejalan dengan itu, kelas menengah harus memangkas anggaran ke sejumlah pos pengeluaran. Survei menunjukkan, tiga pos pengeluaran yang paling banyak dipangkas kelas menengah adalah produk skincare premium (SK-II, Laneige, dll), renovasi rumah dan membeli furniture baru, serta pengeluaran untuk membership atau langganan (gym, Netflix, Spotify, dll).

Tak sampai situ, survei juga menanyakan rencana masa depan yang harus ditunda kelas menengah di tengah data beli yang menurun. Hasilnya, tiga pengeluaran yang paling banyak ditunda yaitu membeli kendaraan (70%), membeli atau renovasi rumah (68%), dan investasi atau tabungan non-emergency (56%).

Sebagai informasi, riset ini dilakukan terhadap 450 responden yang terdiri dari kelas menengah generasi Milenial dan Gen Z dengan metode wawancara tatap muka pada September 2024. Survei dilakukan di lima kota besar yaitu Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper