Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia harus mencermati beberapa elemen-elemen penting agar upaya peningkatan perjanjian perdagangan bebas dapat menimbulkan efek positif seperti peningkatan ekspor.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan, pembentukan perjanjian perdagangan bebas yang saat ini marak terjadi merupakan konsekuensi dari perang dagang yang melibatkan Amerika Serikat dan China beberapa tahun yang lalu.
Dia menuturkan, perang dagang tersebut memicu terjadinya fragmentasi perdagangan antar negara yang semakin mengacu pada kebijakan yang sifatnya inward looking. Artinya, banyak negara yang memusatkan perhatian perdagangan internasional dengan mengedepankan interest dari negara tersebut.
“Kondisi tersebut akhirnya memicu kebijakan yang sifatnya tidak terlalu mendukung untuk perdagangan internasional, meskipun ini (perjanjian perdagangan bebas) tidak sepenuhnya salah,” jelas Yusuf saat dihubungi, Rabu (9/10/2024).
Yusuf mengatakan, upaya peningkatan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia memang dapat memacu ekspor Indonesia ke sebuah negara. Hal tersebut dapat dilakukan asalkan Indonesia mengedepankan kepentingannya dalam perundingan perjanjian tersebut.
Di sisi lain, dia menyebut Indonesia juga perlu mencermati kondisi-kondisi yang ada saat melakukan perjanjian dagang dengan sebuah negara. Dia mencontohkan, Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-Hong Kong, China (AHKFTA) yang saat ini rencananya akan diperkuat melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara serta salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, yakni China.
Baca Juga
“Selama ini perjanjian perdagangan, terutama yang melibatkan China, perlu disikapi Indonesia secara lebih hati-hati. Ini mengingat neraca perdagangan antara Indonesia dan China tidak selalu bermuara ke keuntungan di sisi Indonesia,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), total defisit perdagangan Indonesia dengan China pada Agustus 2024 tercatat mencapai US$1,1 miliar. Hal ini lantaran impor dari China mencapai US$6,43 miliar, sedangkan ekspor hanya US$5,33 miliar.
Yusuf menuturkan, pemerintah Indonesia harus mencermati dengan baik bagaimana daya siang produk Indonesia dibandingkan negara-negara yang terlibat dari sebuah perjanjian perdagangan. Dia mengatakan, competitiveness tersebut harus dilihat dari beragam aspek, seperti dari biaya produksi hingga ongkos logistik yang dibutuhkan.
“Selain itu, faktor-faktor lain seperti biaya operasional untuk SDM, keterampilan teknis yang dibutuhkan dalam produksi atau desain sebuah produk juga harus dipertimbangkan sebelum memasukkan sebuah item dalam perjanjian perdagangan agar tidak merugikan Indonesia,” jelasnya.