Bisnis.com, JAKARTA - Aturan kemasan polos tanpa merek dinilai bisa memicu peredaran rokok elektronik ilegal di pasaran.
Adapun, rencana kebijakan kemasan polos tanpa merek, tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo), Rifqi Habibie Putra menuturkan kebijakan tersebut berisiko menciptakan efek domino negatif terhadap kepastian industri rokok elektronik.
"Kebijakan kemasan polos tanpa merek akan mendorong pertumbuhan produk-produk rokok elektronik ilegal di pasaran," katanya, Senin (7/10/2024).
Dia menuturkan kondisi tersebut berisiko menekan penjualan produk-produk legal milik industri rokok elektronik. Padahal, mayoritas pelaku usaha tergolong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Rifqi menambahkan produk-produk ilegal masih menjamur dan belum tertangani dengan baik oleh pemerintah. Dengan kondisi tersebut dan ditambah kebijakan kemasan polos tanpa merek, maka semakin memperbesar peluang migrasi pengguna rokok elektronik ke produk ilegal.
Baca Juga
“Efek jangka panjangnya adalah banyak toko-toko yang bisa jadi tutup. Sebagai pelaku usaha yang taat aturan, kami tidak mau jualan produk-produk ilegal non-cukai,” ujarnya.
Berdasarkan hasil studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang mencakup aturan kemasan polos tanpa merek, jarak larangan penjualan, dan pembatasan Iklan, akan berdampak negatif pada kinerja industri, penerimaan negara, dan tenaga kerja.
Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, jika ketiga skenario itu diterapkan secara bersamaan, maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB.
Penerapan kemasan polos rokok yang menyebabkan downtrading sehingga memicu peralihan ke rokok ilegal lebih cepat. Kondisi ini bisa menurunkan permintaan produk rokok legal yang berpotensi kerugian sebesar Rp182,2 triliun.
Kemudian, penerapan larangan berjualan rokok di sekitar fasilitas pendidikan yang akan berdampak kepada 33 persen pelaku ritel. Sehingga potensi kerugian yang dihitung sebesar Rp84 triliun.
Ketiga, pembatasan iklan rokok yang bisa menurunkan permintaan jasa periklanan. Kondisi ini berpotensi menyumbang kerugian sebesar Rp41,8 triliun.
Selain itu, dari sisi penerimaan negara, pemerintah berisiko kehilangan pendapatan pajak Rp160,6 triliun atau sekitar 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional.