Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Wanti-Wanti RI Buntung jika Terapkan Pajak Minimum Global Sendirian

Jika negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak, maka negara berkembang akan selalu kalah dari negara maju. Pajak minum global pun harus diterapkan bersama.
Wajib pajak beraktivitas di salah satu kantor pelayanan pajak pratama, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Wajib pajak beraktivitas di salah satu kantor pelayanan pajak pratama, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mewanti-wanti bahaya apabila Indonesia menerapkan kebijakan pajak minimum global tanpa diikuti oleh negara-negara lain.

Yusuf menjelaskan, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merumuskan tarif pajak minimum global karena selama ini banyak negara yang memberi insentif pajak untuk menarik investasi asing. Masalahnya, insentif pajak tersebut membuat perang tarif antar negara.

Jika negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak maka negara berkembang akan selalu kalah dari negara maju. Oleh sebab itu, kebijakan pajak minimum global diharapkan dapat mengakhiri perang pajak tersebut.

"Tentu hal ini dengan asumsi negara-negara yang disinyalir sebagai surga pajak juga ikut menerapkan kebijakan ini, karena kebijakan ini sangat dipengaruhi seberapa besar atau banyak negara yang terlibat," jelas Yusuf kepada Bisnis, Rabu (25/9/2024).

Dalam konteks Indonesia, sambungnya, pemerintah harus melakukan penyesuaian aturan teknis apabila ingin menerapkan kebijakan pajak minimum global.

Dia menjelaskan, OECD menawarkan tiga skema utama dalam penerapan pajak minimum global yaitu income inclusion rule (aturan penyertaan pendapatan), undertaxed payment rule (aturan pembayaran yang dikenakan pajak rendah), dan cold fight domestic minimum top up tax (pajak tambahan minimum domestik).

"Tentu Indonesia perlu melakukan atau melihat, apakah tiga skema ini bisa diterapkan dengan kebijakan ataupun aturan regulasi pajak saat ini," ujarnya.

Selain itu, Yusuf mengusulkan agar pemerintah juga harus mencari pemikat lain agar investor asing mau masuk ke Indonesia. Menurutnya, pemerintah bisa memberikan jaminan kepada calon investor lewat kepastian hukum dan prospek perekonomian dalam jangka panjang.

Sementara itu, sebelumnya Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menyebutkan penerapan pajak minimum global di Indonesia berpotensi menambah penerimaan pajak bagi negara sekitar Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun. 

Thomas menyampaikan potensi pajak tersebut akan berasal dari pengenaan top-up tax dari peraturan pajak minimum global yang sebesar 15%. Di mana apabila tarif pajak efektif suatu perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tidak mencapai 15%, otoritas pajak setempat akan mengenakan top-up tax.

"Berdasarkan analisis dampak Indonesia, penerapan pajak minimum global ini akan menghasilkan penerimaan pajak sekitar Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun, terutama melalui top-up tax," ujarnya dalam The 2nd International Tax Forum, Selasa (24/9/2024).

Keponakan presiden terpilih Prabowo Subianto tersebut menyampaikan, jika Indonesia tidak menerapkan pajak minimum global sebesar 15% itu maka potensi pajak akan diambil negara lain. Menurutnya, langkah tersebut sama dengan Indonesia memberikan subsidi kepada negara lain.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper