Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai deflasi yang terjadi dalam empat bulan terakhir menjadi gejala krisis ekonomi. Kendati demikian, pemerintah mengaku tidak khawatir dengan deflasi yang terjadi belakangaan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti meyakini deflasi merupakan tanda nyata bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Apalagi, sambungnya, saat ini daya beli masyarakat semakin melemah.
"Deflasi terus menerus ini sebetulnya tanda-tanda bahwa itu krisis akan terjadi. Ya, semoga ini tidak benar asalkan ada kebijakan atau intervensi kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah," ujar Esther dalam forum Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri secara daring, Minggu (15/9/2024).
Pengajar di Universitas Diponegoro ini menjelaskan deflasi selama beberapa bulan berurut-urut selalu terjadi sekitar era krisis ekonomi. Dia mencontohkan, pada Maret—September 1999, terjadi deflasi 7 bulan beruntun yang merupakan masa-masa pemulihan krisis moneter.
Lalu, pada Desember 2008—Januari 2009, juga terjadi deflasi efek dari krisis finansial dunia. Terakhir, deflasi 3 bulan berurut-urut dari Juli—September 2020 akibat pandemi Covid-19.
"Artinya di sini pada tahun-tahun tersebut ketika terjadi deflasi berbulan-bulan secara berurutan itu ada krisis. Nah, kita harus waspada bahwa sekarang ini 4 bulan berurutan itu ada deflasi," jelas Esther.
Baca Juga
Dia pun mendorong agar Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pemegang kebijakan moneter segera melakukan intervensi. Dia mengingatkan tugas BI bukan sekadar menjaga nilai tukar rupiah, tetapi juga menstabilkan harga.
Oleh sebab itu, Esther menekankan pentingnya penurunan suku bunga acuan alias BI Rate dalam waktu dekat. Selain itu, BI juga bisa mengeluarkan kebijakan giro wajib minimum dan terus mendorong kredit.