Bisnis.com, MANGGARAI BARAT — Perusahaan-perusahaan sosial, organisasi komunitas, hingga lembaga swadaya masyarakat yang mendorong ekosistem restorasi dan ekonomi berkelanjutan terus berkembang. Dukungan finansial dari investor maupun lembaga keuangan seperti perbankan dapat mendukung proses riset dan inovasi mereka agar menghasilkan produk yang berdampak.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Vivi Yulaswati menjelaskan bahwa semakin banyak perusahaan sosial maupun inisiatif yang mendorong ekosistem ekonomi hijau di tanah air. Investor pun melirik mereka dengan pertimbangan bukan sekadar profit, melainkan juga kebermanfaatannya bagi lingkungan dan masyarakat.
Menurut Vivi, dukungan permodalan bagi inisiatif-inisiatif itu kerap tidak bisa dilakukan secara reguler, karena seringkali perusahaan sosial hingga organisasi memerlukan waktu cukup panjang hingga bisa menemukan skema dan produk yang tepat, terutama dalam hal keberlanjutan lingkungan dan keselarasannya dengan kebutuhan masyarakat yang terlibat.
"Seringkali startup, misalnya yang bergerak di bidang agrikultur, mereka butuh masa inkubasi, riset, dan inovasi, perlu grace period lebih panjang dari yang selama ini disediakan oleh perbankan," ujar Vivi saat sela perhelatan Impact Investment Day di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (7/9/2024).
Menurutnya, pemerintah berkomunikasi dengan perbankan untuk dapat memahami pola bisnis itu lalu menyediakan pendanaan tersendiri yang dapat mendukung proses riset dan inovasi tersebut.
"Agar ada semacam dana untuk mendukung risiko-risiko yang harus ditanggung teman-teman [perusahaan sosial] saat dia research and development, kemudian juga inovasi sebelum sampai betul-betul produk mereka diterima oleh masyarakat dan pasar," ujar Vivi.
Baca Juga
Dukungan itu membuat berbagai inisiatif, baik dari perusahaan sosial, organisasi komunitas, hingga non govermental organization (NGO) dapat mengembangkan operasinya sehingga produksi berkelanjutan bisa terus berkembang skalanya.
Pemerintah pun terus berupaya mengimbangi perkembangan inisiatif-inisiatif yang pesat itu dengan pembaruan dan penyempurnaan regulasi. Vivi menyebut bahwa kerap terdapat regulasi yang belum mengatur spesifik sejumlah inisiatif yang berkembang pesat.
Misalnya, terdapat inisiatif daur ulang plastik melalui produksi kayu dan bata, yang terdiri dari campuran plastik dan gabah. Perusahaan itu berkembang pesat dan berencana untuk masuk dalam pengadaan barang/jasa pemerintah secara daring atau e-procurement, tetapi sempat terkendala oleh regulasi.
Jenis produk itu rupanya belum masuk dalam daftar Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), karena baru terdapat kelompok plastik atau kayu, bukan produk campuran dengan daur ulang plastik. Alhasil, pemerintah perlu membuat klasifikasi lebih detil agar produk itu bisa dimanfaatkan lebih luas.
"Dengan dia masuk ke dalam kode usaha industri, dia berhak untuk dapat insentif yang ada, misalnya gas industri. Sekarang kan [sebelum dapat kode usaha] bayarnya pakai [harga] gas yang normal, karena belum dianggap sebagai industri. Kami juga belajar, mendengarkan, dan jadi berkoordinasi dengan berbagai pihak, oh, kita mesti melengkapi ini agar social innovators terus bergerak," ujar Vivi.