Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati angka baru asumsi dasar ekonomi makro 2025. Di balik proses itu, ada perbedaan prediksi nilai tukar rupiah antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Komisi XI DPR dalam rapat kerjanya dengan Menkeu, Gubernur BI, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya menyepakati asumsi makro yang menjadi acuan anggaran pendapatan dan belanjan negara atau APBN 2025.
Ketua Komisi XI DPR Kahar Muzakir menjelaskan bahwa memang terdapat berbagai perundingan dalam penentuan asumsi makro itu. Namun demikian, pemerintah dan legislatif mencapai titik temu untuk sejumlah indikator hingga disepakati postur yang akan disiapkan menjadi APBN 2025.
"Kami sudah berunding dan kelihatannya kita menuju kesepakatan di angka Rp16.000 [per dolar AS untuk asumsi kurs] dan 7% [untuk asumsi suku bunga SBN 10 tahun]," ujar Kahar dalam rapat kerja, Rabu (28/8/2024).
Indikator-indikator lainnya tercatat sama dengan apa yang pemerintah usulkan dalam RAPBN 2025, yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat Pidato Nota Keuangan di Sidang Paripurna DPR dua pekan lalu.
DPR mendorong pemerintah untuk melakukan sejumlah upaya, kebijakan, dan program dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, berbekal asumsi makro tersebut sebagai tolok ukur.
Baca Juga
Pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas belanja pemerintah, memperkuat dan memperluas hilirisasi, hingga memperdalam insentif fiskal untuk mendorong investasi.
Berikut Asumsi Dasar Ekonomi Makro untuk APBN 2025:
- Pertumbuhan Ekonomi: 5,2%
- Inflasi: 2,5%
- Nilai Tukar Rupiah: Rp16.000 per dolar AS
- Suku Bunga SBN 10 Tahun: 7%
Sasaran Pembangunan:
- Tingkat Pengangguran Terbuka: 4,5%—5%
- Tingkat Kemiskinan: 7%—8%
- Tingkat Kemiskinan Ekstrem: 0%
- Indeks Rasio Gini: 0,379—0,382
- Indeks Modal Manusia: 0,56
Indikator Pembangunan:
- Nilai Tukar Petani (NTP) 115—120
- Nilai Tukar Nelayan (NTN) 105—108
Salah satu perdebatan sengit dalam proses itu adalah penetapan asumsi nilai tukar rupiah. Pasalnya, Menkeu dan Gubernur BI beda asumsi soal nilai tukar rupiah, terdapat asumsi yang optimistis tetapi ada juga yang konservatif atau bahkan cenderung hati-hati.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah perlu mengasumsikan nilai tukar rupiah 2025 di level Rp16.100 per dolar AS. Alasannya, pergerakan nilai tukar rupiah sangat dinamis dalam satu bulan terakhir. Oleh sebab itu, pemerintah harus mendesain asumsi makro secara fleksibel.
Misalnya, pada Agustus 2024 ini nilai tukar rupiah sudah menguat atau terapresiasi hingga 5% secara month to date, meskipun secara tahun berjalan atau year to date (YtD) masih terkoreksi 0,5%.
"Kalau kita potret pada saat menulis [asumsi makro 2025] itu, secara year to date kita depresiasinya masih di sekitar 5%. Mungkin Komisi XI masih ingat presentasi saya di sini untuk KEM-PPKF [2025] itu masih diwarnai oleh nilai tukar yang depresiasinya antara 5%—6%, hanya dalam waktu singkat [bergerak menguat]," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (28/8/2024).
Menurutnya, pergerakan yang sangat cepat itu merupakan efek dari dinamika global yang membuat perekonomian begitu dinamis. Alhasil, perubahan-perubahan itu perlu diwaspadai, termasuk pada 2025.
"Saya harapkan DPR juga, pemerintah mendesain APBN jangan terlalu kaku, karena dunia itu bergeraknya luar biasa. Dunia berubah hanya dalam hitungan minggu maka kita mampu merespons. Fleksibilitas tidak berarti tidak ada akuntabilitas," ujar Sri Mulyani.
Beda Ramalan Rupiah Sri Mulyani dan Gubernur BI
Sementara itu, Perry mengungkap bahwa BI memproyeksikan rupiah ada di kisaran Rp15.300—Rp15.700 per dolar AS pada 2025. BI meramalkan bahwa kurs rupiah akan terus menguat pada tahun depan karena ada perbaikan secara fundamental dalam perekonomian domestik maupun global.
"Pertama, karena Fed Fund Rate yang turun, kedua kondisi makro ekonomi kita baik inflasi maupun pertumbuhan yang lebih baik, dan yang ketiga imbal hasil yang tetap menarik termasuk imbal hasil SBN dan juga SRBI," jelasnya pada kesempatan yang sama.
Kendati demikian, dia tidak menampik ada sejumlah resiko global seperti yang disampaikan oleh pihak pemerintah. Bos bank sentral tersebut menyebutkan, pemilihan presiden di AS, hubungan AS-China, dan sejumlah konflik di Timur Tengah dan daerah lain bisa berdampak negatif ke nilai tukar rupiah.
Perry mengakui, sejumlah peristiwa geopolitik tersebut tidak bisa diperkirakan oleh BI. Namun, dia meyakini BI tetap bisa melakukan intervensi agar nilai tukar rupiah tidak melemah terutama lewat pengendalian cadangan devisa (cadev).
"Kami berkomitmen untuk terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan tetap menjaga nilai kecukupan cadangan devisa," tutupnya.