Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bukan RI, Investasi Pabrik Kertas dari China Lari ke Vietnam & Thailand

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengungkap, pabrikan pengolahan kertas dari China kini lebih banyak memilih menanamkan modal ke Vietnam dan Thailand
Pengunjung melihat produk dalam pameran Indonesia International Machinery, Electricity and New Energy Industry Exhibition (IIME) 2024 di Jakarta, Rabu (21/8/2024)/JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pengunjung melihat produk dalam pameran Indonesia International Machinery, Electricity and New Energy Industry Exhibition (IIME) 2024 di Jakarta, Rabu (21/8/2024)/JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengungkapkan pabrikan pengolahan kertas dari China kini lebih banyak memilih menanamkan modal ke Vietnam dan Thailand dibandingkan Indonesia.

Ketua Umum APKI Liana Bratasida mengatakan, hal itu disebabkan kondisi iklim investasi di Vietnam dan Thailand yang lebih kondusif, termasuk dari segi upah tenaga kerja hingga dukungan dari pemerintah setempat dari sisi kemudahan perizinan.

"Dia [China] sekarang lebih banyak dibandingkan Indonesia terutama untuk kertas ya, itu ke Vietnam dan Thailand, karena itu dipromosikan dan dikasih insentif banyak oleh pemerintah nya," kata Liana saat ditemui di Jiexpo, Rabu (21/8/2024). 

Padahal, potensi manufaktur atau pabrikan China sangat besar mengingat teknologi yang dimiliki negara tersebut dapat membuat produksi lebih efisien dan kapasitas yang berkali-kali lipat lebih besar dari produksi Indonesia. 

Saat ini, Indonesia memiliki 112 industri pulp dan kertas dengan total kapasitas 11,45 juta ton pulp dan 21,19 juta ton kertas. Industri pulp dan kertas Indonesia berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) nonmigas sebesar 4,63% pada tahun 2023, serta menghasilkan devisa sebesar US$8,28 miliar. 

Merujuk pada data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi industri kertas dan percetakan mencapai US$1,8 miliar sepanjang semester I/2024. Sepanjang 2023, investasi di sektor ini mencapai US$3,4 miliar atau naik pesat dibandingkan tahun sebelumnya US$1,6 miliar. 

Kendati demikian, Liana tak memberikan data pasti perbandingan investasi sektor kertas dari China yang banyak mengalir ke Vietnam dan Thailand. Namun, dia mendorong pemerintah untuk lebih ramah terhadap investor yang juga dapat mendukung pertumbuhan industri lokal. 

"Iklim itu yang harus diciptakan dan perizinan itu jangan kompleks, satu ini satu itu, lain-lain. Supaya investornya mau datang dengan senang hati ke Indonesia," tuturnya. 

Terlebih, untuk industri kertas, China merupakan salah satu negara tujuan ekspor pulp dan kertas terbesar dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Pada 2023, total nilai ekspor ke China mencapai US$2,6 miliar untuk pulp dan US$502 juta untuk produk kertas. 

Selain investasi, untuk mendorong kinerja industri dalam negeri, APKI mendorong kerja sama dalam hal transfer teknologi permesinan. Liana menilai China merupakan raja produsen manufaktur di berbagai subsektor.

"Kapasitas [China] besar sekali sehingga produk dia dijual di dalam negerinya sendiri tapi masih kelebihan, dijual lagi ke luar, kemana-mana. Jadi proses produksi, teknologi itu sudah dia kuasai semua," ujar dia.

Pelaku usaha lokal selalu mencoba untuk terus mengejar skala produksi China, tetapi masih terkendala pada kekuatan teknologi. Secara keseluruhan, Liana juga menerangkan bahwa industri pulp dan kertas memiliki sejumlah tantangan. 

Tantangan domestik datang dari kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan bahan baku untuk produksi, kendati ketersedianya tak ada di dalam negeri. Artinya, industri membutuhkan kemudahan akses untuk impor bahan baku/penolong. Dalam hal ini, porsi impor bahan baku untuk kertas 40-50%. 

Sementara itu, tantangan eksternal berupa ancaman kebijakan UU Anti Deforestasi yang diterapkan oleh Uni Eropa, Carbon Border Adjument Mechanism (CBAM). Tak hanya itu, kondisi geopolitik global yang masih panas juga memengaruhi aktivitas industri nasional. 

"Di kondisi geopolitik sekarang, di mana ada perang, ekonomi nasional kemudian ekonomi global juga tidak baik karena ada perang, itu kan kapal harus muter, logistik jadi tambah mahal, bukan hanya mahal sampainya ke kita juga lama, menghambat proses produksi," terangnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper