Bisnis.com, JAKARTA - Jepang kini menjadi pusat kekhawatiran para investor seiring dengan perubahan kebijakan bank sentralnya dan pelemahan pasar yang terjadi sejak awal pekan ini.
Mengutip Bloomberg pada Rabu (7/8/2024), selama setahun ke belakang, Negeri Matahari Terbit ini sempat menjadi favorit para pelaku pasar. Nilai mata uang yen yang lemah mendorong pasar saham mencapai rekor tertinggi dan menghidupkan kembali inflasi setelah beberapa dekade.
Kemudian, bank sentral Jepang, Bank of Japan (BOJ) menaikkan suku bunga pada Rabu pekan lalu. Hal ini diikuti oleh pernyataan Gubernur BOJ, Kazuo Ueda, yang mengindikasikan dirinya bermaksud untuk terus menaikkan suku bunga, yang memicu kenaikan tajam yen dan pergerakan liar di pasar global.
Hal ini membuat pedagang dan investor terpaksa meninggalkan strategi berdasarkan pandangan makro bahwa mata uang Jepang akan tetap lemah dan suku bunga tidak akan naik terlalu cepat.
Stephen Miller, konsultan di Grant Samuel Funds Management dan eks Fund Manager di BlackRock Inc menyebut, kebijakan yang dilakukan BOJ ini merupakan hal baru yang harus dicermati oleh pasar. Dia menyebut, BOJ tampaknya sangat ingin menjauh dari kebijakan suku bunga nol atau negatif yang sebelumnya terjadi selama bertahun-tahun.
"Jepang kini menjadi pusat kekhawatiran yang muncul – dalam segala hal, saham, obligasi, yen, kredit, semuanya," kata Miller dikutip dari Bloomberg.
Baca Juga
Miller menambahkan, investor kini harus mengevaluasi kembali apa yang mereka pikir mereka ketahui tentang Jepang.
Volatilitas melanda pasar Jepang seiring dengan indeks Nikkei 225 yang mengalami penurunan terbesar sejak 1987 pada Senin kemarin. Meski demikian, Indeks tersebut terpantau kembali naik 10% pada hari berikutnya.
Gejolak ini juga membawa implikasi terhadap politik dan rumah tangga negara tersebut karena guncangan pasar dapat berdampak pada kepercayaan konsumen dan upaya Jepang untuk keluar dari deflasi.
Selain itu, investor juga dibuat kebingungan setelah mata uang yen melemah sekitar 2% pada hari Rabu. Pelemahan ini terjadi setelah Deputi Gubernur BOJ Shinichi Uchida mengatakan bank tidak akan menaikkan suku bunga selama pasar tidak stabil.
Chief Foreign-Exchange Strategist di Sumitomo Mitsui Banking Corp., Hirofumi Suzuki menyebut risiko dari kebijakan ini adalah konsumsi dan investasi yang akan terhambat. Hal ini karena ketidakpastian di pasar akan cenderung meningkat.
“Jika hal ini berlarut-larut, hal ini dapat mempengaruhi perilaku bisnis dan juga (konsumsi) rumah tangga," jelas Suzuki.
Adapun, analis menyebut aksi jual besar-besaran di pasar menunjukkan pelaku yang berharap mendapatkan keuntungan dari melemahnya yen dan reli pada pasar ekuitas Jepang telah terhapuskan.
Lonjakan yen juga menggagalkan salah satu strategi pasar paling menguntungkan tahun ini, yakni carry trade. Adapun, Cary trade merupakan strategi yang melibatkan peminjaman mata uang Jepang untuk berinvestasi pada aset global lainnya.
Penguatan mata uang yen memicu investor aksi ambil untung pada strategi perdagangan ini, yang memperburuk kenaikan mata uang tersebut.
“Respons yang sangat besar ini dibandingkan dengan pembatalan yang cepat dari carry trade sebelumnya menunjukkan bahwa ada lebih banyak hal yang berperan di Jepang daripada ketakutan akan resesi – dan dapat memiliki konsekuensi secara global jika hal ini terus berlanjut,” kata Wei Li, Global Chief Investment Strategist di BlackRock.
Politisi dan pelaku bisnis telah berusaha meredakan kekhawatiran di Jepang, terutama seputar perluasan rekening investasi bebas pajak. Hal ini merupakan sebuah inisiatif untuk membuat masyarakat memindahkan lebih dari 1 kuadriliun yen yang tersimpan di rekening bank ke pasar.
Investor asing yang bertahan kemungkinan besar akan mengambil pandangan lebih panjang dengan fokus pada perusahaan-perusahaan yang tekun melakukan reformasi, pertumbuhan bisnis, dan pengelolaan neraca.
Pelham Smithers, Managing Director Pelham Smithers Associates menyebut, kondisi saat ini membuat pasar harus menyesuaikan dengan analisis fundamental. Menurutnya, analisis tersebut harus dilakukan dari bawah ke atas (bottom up), bukan dari atas ke bawah (top down).
“Ke depannya, ini akan menjadi saat yang menarik jika anda seorang pemilih saham," kata Smithers.
Sementara itu, kebijakan BOJ juga dianggap sebagai sebuah kesalahan dan dipengaruhi oleh tekanan politik oleh beberapa pihak. Hal tersebut karena beberapa politisi terkemuka telah menyerukan lemahnya mata uang yen dalam beberapa minggu terakhir.
Chief Economist Credit Agricola Takuji Aida menyebut hal ini dapat membahayakan hubungan antara pemerintah Jepang dan bank sentral. Aida juga menyebut hal ini dapat mempengaruhi upaya Perdana Menteri Fumio Kishida untuk terpilih kembali sebagai ketua partai yang berkuasa di Jepang bulan depan.
Di sisi lain, beberapa pihak lain mendukung langkah BOJ. Head of Trading and Investment Banking di Nomura Holdings Inc., Christopher Willcox, mengatakan kenaikan suku bunga adalah keputusan yang tepat mengingat lingkungan makro negara dan perubahan kebijakan uang longgar selama beberapa dekade pasti akan mengganggu.
“Mereka selalu tahu bahwa kebijakan ini akan sangat sulit. Jadi menurut saya BOJ bertindak sangat cerdas," ujar Wilcox.
Penurunan pasar juga dapat memicu peningkatan pembelian kembali saham (buyback). Hal tersebut karena perusahaan memanfaatkan harga saham yang lebih rendah.
Regulator dan investor luar negeri telah mendorong perusahaan untuk menerapkan kebijakan yang lebih ramah pemegang saham.
Equity Analyst di Jefferies, Atul Goyal, menyebut peluang ini sebagai hal unik. Goyal menyebut, aksi jual menciptakan momen yang tepat karena beberapa perusahaan akan mengumumkan hasil kinerjanya dan mengadakan rapat dewan.
"Ada kemungkinan bagi beberapa dari mereka untuk mengumumkan pembelian kembali dalam jumlah besar," jelasnya.