Bisnis.com, JAKARTA – Senin, 5 Agustus 2024 menjadi hari yang suram bagi pasar saham global. Seluruh indeks saham dari Asia hingga Eropa terjun ke zona merah akibat kekhawatiran pasar akan resesi ekonomi Amerika Serikat (AS).
Belum lama merayakan sinyal dari Federal Reserve mengenai penurunan suku bunga pertama, pasar langsung dihantam badai dari lemahnya data ekonomi, kinerja korporasi yang mengecewakan, dan tren musiman yang buruk.
Melansir Bloomberg, Selasa (6/8/2024), bursa saham Wall Street mencatat penurunan harian terbesar dalam dua tahun terakhirnya. Indeks S&P 500 anjlok dalam meskipun berhasil memulihkan sebagian pelemahan dan ditutup turun 3%. Indeks Dow Jones juga ditutup melemah 2,6%.
Sementara itu, indeks Nasdaq 100 yang dihuni emiten teknologi mencatat awal terburuk dalam satu bulan sejak 2008.
Indeks ”pengukur kekhawatiran" Wall Street, atau VIX indeks sempat mencatat lonjakan terbesar sejak tahun 1990 dan berakhir melonjak 65,9% ke level 15,18. Semakin tinggi indeks VIX mengindikasikan kekhawatiran pasar yang semakin meningkat.
Pelemahan Wall Street didahului oleh anjloknya sejumlah indeks global, terutama bursa Asia. Di Jepang misalnya, indeks Nikkei 225 ditutup anjlok 12,4% pada perdagangan Senin, sedangkan indeks Topix merosot 12,23%. Ini merupakan penurunan harian terbesar sejak Oktober 1987.
Baca Juga
Indeks Kospi Korea Selatan juga mencatat penurunan terburuk sejak krisis keuangan global 2008. Melansir Reuters, indeks ditutup melemah 8,8%, persentase penurunan terbesar sejak 24 Oktober 2008. Bahkan indeks sempat anjlok hingga 10,8% sehingga memicu ’circuit breaker’ atau penghentian perdagangan sementara (trading halt).
Di Eropa, indeks Stoxx 600 ditutup merosot 2,17%, sedangkan indeks FTSE 100 Inggris berakhir melemah 2,04% dan DAX Jerman ditutup melemah 1,82%.
Di dalam negeri sendiri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 3,4% ke level 7.059,653 pada Senin.
Tim Analis Phintraco Sekuritas mengungkap beberapa faktor yang menyebabkan pelemahan IHSG dan sejumlah pasar regional, terutama Jepang, salah satunya keputusan Bank of Japan (BoJ) untuk menaikan suku bunga acuan ke 0,25% yang memicu aksi sell-off pada saham-saham di Jepang sejak Jumat pekan lalu.
Menurut Tim Analis Phintraco, kenaikan suku bunga acuan memicu penguatan signifikan nilai tukar Yen. Kondisi ini merugikan mayoritas emiten di Jepang yang berorientasi ekspor atau trading, dan investor yang memanfaatkan stabilitas kebijakan moneter BoJ selama ini sebagai bagian dari strategi investasinya.
Kepala Empiric Lt Equity Neville Javeri mengatakan aksi sell-off di pasar saham global dipicu oleh data tenaga kerja nonfarm payroll (NFP) yang lemah pekan lalu. Hal ini mengarah pada keyakinan bahwa the Fed perlu mulai bersikap lebih proaktif mengenai ke mana arah angka-angka data tersebut.
”Hal ini jelas berlanjut selama akhir pekan, carry trade di Jepang dan sekarang hari ini kita melihat aksi jual sebagai perpanjangan dari kecemasan yang dirasakan minggu lalu,” ungkap Neville seperti dikutip Reuters.
Meskipun begitu, dia tidak sepenuhnya yakin the Fed akan menurunkan suku bunga sebelum September sebagai respons aksi jual pasar ini. Hal ini karena The Fed memiliki mandat ganda, yaitu menjaga inflasi dan lapangan kerja tetap stabil.
"Meskipun terjadi aksi jual, sepertinya tidak ada tekanan apapun pada saat ini di pasar keuangan,” pungkasnya.
Callie Cox dari Ritholtz Wealth management mengatakan meskipun terjadi aksi jual di pasar, dia menganggap perekonomian belum memasuki masa krisis. Namun dia mengingatkan bahwa saat ini pasar berada di zona bahaya.
”The Fed berada dalam bahaya kehilangan arah di sini jika mereka tidak mengakui adanya celah di pasar tenaga kerja. Belum ada yang rusak, tetapi sudah mulai rusak dan The Fed berisiko tergelincir,” jelas Cox seperti dikutip Bloomberg.
Quincy Krosby dari LPL Financial mengatakan bahwa setelah reli yang begitu kuat, valuasi, sentimen, dan positioning pasar menjadi melebar.
"Apa yang pasar alami adalah pelonggaran dari posisi bullish tersebut," katanya.
Analis Laffer Tengler Investment menggambarkan volatilitas pasar saat ini sebagai tarik menarik antara rasa takut dan keserakahan.
"Selama lebih dari 40 tahun saya menjadi investor profesional, saya selalu tertarik untuk membeli ketika orang lain takut. Volatilitas adalah teman bagi para investor jangka panjang,” jelasnya.
Gejolak pasar, terutama di Wall Street, mereda setelah data indeks manajer pembelian (purchasing managers’ index/PMI) nonmanufaktur dari Institute for Supply Management (ISM) naik menjadi 51,4 pada Juli 2024 dari 48,8 pada bulan sebelumnya.
Angka ini melampaui ekspektasi ekonom yang memperkirakan PMI sebesar 51,0. Angka PMI di atas 50 mengindikasikan pertumbuhan di sektor jasa, yang menyumbang lebih dari dua pertiga ekonomi AS.