Bisnis.com, JAKARTA – Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia ke China terpantau membengkak dalam 10 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan posisi terakhir pada Mei 2024 senilai US$22,86 miliar atau setara Rp372,3 triliun (kurs pagi ini Rp16.288 per dolar AS).
Berdasarkan Data Statististik Utang Luar Negeri milik Bank Indonesia (BI), secara umum posisi ULN Indonesia pada akhir Mei 2024 ini berada di angka US$407,3 miliar atau setara Rp6.634,1 triliun.
Posisi tersebut naik 1,8% (year-on-year/yoy) dari Mei 2023 yang senilai Rp400,24 miliar. Secara bulanan atau month-to-month (mtm) dari April 2024 pun, posisi utang luar negeri naik 2,1% dari US$398,82 miliar menjadi US$407,3 miliar.
Bank Indonesia mencatat kenaikan utang terutama didorong oleh bank sentral, dengan nilai US$18,78 miliar pada Mei 2024, naik dari US$9,26 miliar pada Mei 2023.
Asisten Gubernur, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyampaikan bahwa struktur ULN Indonesia hingga Mei 2024 tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
“Hal ini tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap PDB yang tercatat sebesar 29,8%, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 85,9% dari total ULN,” katanya melalui keterangan resmi, dikutip Jumat (26/7/2024).
Khusus posisi ULN Indonesia terhadap China, tercatat adanya kenaikan baik secara tahunan maupun bulanan yang masing-masing sebesar 14,28% (yoy) dan 4% (yoy).
Utang China Era Jokowi
Jika membandingkan ULN dari China dengan total ULN secara keseluruhan, porsi utang dari China memang tercatat hanya sekitar 5,6% dari total utang Indonesia.
Meski demikian, utang dari China nyatanya mengalami lonjakan hingga 190% dalam 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Lonjakan utang Indonesia ke China mulai terpantau pada tahun pertama pemerintahan Jokowi atau pada 2015.
Kala itu, utang luar negeri naik signifikan senilai US$5,79 miliar, dari US$7,87 miliar (2014) menjadi US$13,66 miliar. Adapun, utang China di akhir pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya mencapai US$6,16 miliar (2013).
Tak ayal, Jokowi memilih China untuk bekerja sama dalam pembangunan sejumlah kontruksi penting. Sebut saja pembangunan Waduk Jatigede di Jawa Barat, pembangunan Tol Medan-Kualanamu, hingga Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh.
Menjadi perhatian, kereta cepat yang memangkas waktu perjalanan dari Jakarta ke Bandung menjadi hanya 45 menit, pada akhirnya menggunakan APBN untuk memberikan penjaminan atas utang tersebut.
Hal tersebut juga tercermin dalam posisi ULN menurut sektor ekonomi, kenaikan secara umum, untuk utang di sektor konstruksi juga transportasi dan pergudangan turut melonjak.
ULN di sektor kontruksi naik dari US$19,36 miliar pada 2014, menjadi US$27,32 miliar per Mei 2024. Untuk utang di sektor transportasi dan pergudangan, naik dari US$13,07 miliar (2014) menjadi US$24,44 miliar.
China Terlibat di Kereta Cepat Jakarta-Surabaya
Teranyar, tiga bulan menjelang akhir kepemimpinannya, Jokowi berencana menambah utang lagi dari China untuk proyek Kereta Cepat Jakarta – Surabaya.
Direktur Utama Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi mengaku pihaknya bersama Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo dan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo, telah melaporkan perkembangan proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya kepada Jokowi.
Saat ini, proyek tersebut tengah dalam pembahasan soal studi kelayakan atau feasibility study bersama perusahaan dari China.
“Lah itu [kereta cepat Jakarta—Surabaya] lagi dibahas dengan China,” ujarnya usai memenuhi panggilan dari Jokowi di Istana Kepresiden, Rabu (24/7/2024).
Berkaca dari pembengkakan utang Indonesia soal Kereta Cepat Jakarta-Bandung, setidaknya pemerintah dalam 35 tahun mendatang harus melunasi utang tersebut kepada China.