Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Pengusaha Suplemen Kesehatan Indonesia (APSKI) menilai industri farmasi, termasuk produk suplemen memiliki tantangan utama dalam hal penyediaan produk terjangkau dan berdaya saing.
Ketua Umum APSKI Decky Yao membenarka fakta bahwa harga obat dan alat kesehatan di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga. Bahkan harga obat impor justru lebih murah.
"Bahan baku suplemen masih impor karena keterbatasan supply bahan baku dari lokal, dan harga impor lebih murah. Porsi bahan baku impor bisa lebih dari 80%, untuk itu dibutuhkan dukungan dari pihak pemerintah," kata Decky kepada Bisnis, belum lama ini.
Terlebih, industri farmasi tidak dapat berjalan sendiri dan masih kalah bersaing terutama dengan produk dari China dan India jika pemerintah tidak turut ikut campur mendukung program kebijakan yang pro industri dalam negeri.
Di samping itu, Decky menilai masyarakat masih merasakan kurangnya sistem pelayanan rumah sakit dan waktu terbatasnya konsultasi pasien ke dokter serta edukasi dokter ke pasien. Alhasil, pasien yang mampu secara ekonomi, lebih memilih berobat di luar negeri.
Dalam hal ini, pemerintah harus mulai mencari solusi bersama industri dalam negeri melalui asosiasi terkait kendala yang dihadapi untuk menurunkan harga obat dan alkes.
"Kami juga butuh keringanan dan insentif pajak bagi industri dalam negeri yang mampu memproduksi bahan baku, baik kebutuhan dalam negeri, maupun ekspor sehgga harga bahan baku lebih kompetitif," tuturnya.
Pemerintah juga didorong untuk lebih gencar mengadakan edukasi dan arahan, utamanya dari BPOM terkait kemudahan dalam regulasi yang mempercepat proses registrtasi produk dalam negeri dengan keamanan dan kualitas yang terjaga.
Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustran, Reni Yanita menekankan pihaknya akan mendorong industri farmasi nasional menggunakan bahan baku lokal.
Dia juga membeberkan alasan harga obat dan alkes yang mahal di dalam negeri lantaran kondisi utilisasi produksi yang masih rendah karena dipengaruhi permintaan pasar. Jika utilitas 50% maka tak heran jika produsen menjual harga tinggi.
"Kalau yang beli banyak akan meningkatkan utilisasi, kalau utilisasinya naik maka harganya akan lebih murah," kata Reny saat ditemui di Kompleks DPR RI, baru-baru ini.
Produsen juga akan mengikuti kebutuhan pasar, apabila utilitas produksi semula berada di level 80%, namun di pasar hanya terserap 50%, maka pada periode selanjutnya produksi akan susut, sementara biaya energi masih tinggi, sehingga harga jual menjadi mahal.
Dalam catatan 5 tahun terakhir, Reni melihat terjadi tren kenaikan impor bahan baku obat. Pada 2022, secara keseluruhan volume impor mencapai 35.890 ton senilai US$509 juta.
"Ketergantungan impor bahan baku lebih dari 90% yang digunakan industri farmasi nasional masih harus diimpor, terutama dari China dan India," jelasnya.