Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menyampaikan presiden terpilih Prabowo Subianto memerlukan teknokrat yang secara tegas mampu memberikan panduan terkait strategi penerimaan negara.
Mengingat, rencana Prabowo untuk melebarkan defisit maupun menaikkan rasio utang pemerintah yang santer beredar akhir-akhir ini, harus sejalan dengan menaikkan penerimaan negara.
Melihat komposisi dari Tim Gugus Transisi Prabowo-Gibran, seluruhnya diisi oleh politikus dari partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, tanpa adanya satupun dari koalisi maupun teknokrat.
Di mana diketuai oleh Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco dan Wakil Ketua Ahmad Muzani (Sekjen Gerindra). Anggotanya pun seluruhnya pihak Gerindra, yakni Thomas Djiwandono dan Budisatrio Djiwandono yang juga merupakan keponakan Prabowo.
Kemudian Wakil Ketua Umum Gerindra Sugiono dan Ketua OKK DPP Partai Gerindra Prasetiyo Hadi.
Teranyar, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo pun turut ambil bagian mengungkapkan rencana Prabowo terkait rasio utang pemerintah. Sementara sebelumnya, kakak ipar Prabowo, Sudrajad Djiwandono juga menilai program makan bergizi gratis lebih logis ketimbang Ibu Kota Nusantara (IKN).
Baca Juga
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan sikap yang Prabowo tunjukkan cenderung lebih mempercayai keluarganya ketimbang teknokrat.
Bagaimana manajemen anggaran ke depan, apa yang harus dilakukan dari sisi penerimaan pajak, pun belum memberikan kejelasan yang konkret untuk menenangkan pasar keuangan yang sebelumnya khawatir akan pelebaran defisit dan rasio utang.
“Jadi saya melihatnya ini justru ada lubang yang belum ditutup. Salah satunya adalah kebutuhan tim teknokrat yang bisa memberikan paduan secara teknis misalnya pajak apakah akan menunda PPN [12%], jadi yang dinaikkan pajak komoditas?” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (12/7/2024).
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan pernyataan dari teknokrat lebih terukur dan rasional bagi pelaku pasar.
Salah satunya, dari Soedrajad Djiwandono dengan latar ekonom berpengalaman dan pernah menjabat orang nomor satu di bank sentral. Di mana faktor rasionalitas di sektor keuangan sangat diperhatikan, alih-alih faktor janji kampanye atau statement politik yang tanpa dukungan data ekonomi.
Untuk itu, dalam membentuk perekonomian dan kepercayaan dari para pelaku usaha terutama UMKM, Eko menilai kehadiran teknokrat di kabinet Prabowo akan sangat diperhitungkan oleh pelaku pasar.
“Kalau terlalu didominasi unsur politisi, ada risiko kemungkinan semakin banyak gejolak perekonomian yang muncul akibat dari 'bacaan' situasi ekonomi yang lebih berdasarkan pandangan sisi politik. Ini tentu akan menimbulkan spekulasi di perekonomian,” ujarnya, Jumat (12/7/2024).
Trust Issue
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Celios Bhima juga melihat adanya masalah kepercayaan atau trust issue dari Prabowo karena terpantau mempercayakan persoalan anggaran bersama keluarganya.
Sejauh ini, belum banyak hal-hal teknis yang diungkapkan dan masih luput dari pembicaraan. Misalnya, apakah akan ada pajak kekayaan. Dari sisi belanja, pemerintah bersikeras untuk menjalankan makan siang gratis dan food estate.
Sementara itu, belum ada kejelasan soal IKN dalam APBN 2025. Sementara makan siang gratis sudah dialokasikan Rp71 triliun untuk 2025.
“Kalau teknokrat yang menjelaskan bisa runtut dan sistematis. Bahasanya lebih teknis sehingga secara operasionalisasi APBN, termasuk utang 2025 itu bisa lebih terukur oleh para pelaku usaha, investor, juga DPR,” tuturnya.
Sehingga, publik dapat memahami arah dari pemerintahan Prabowo. Pasalnya, menurut Bhima saat ini arah kebijakannya masih belum dapat diterka.
Soal makan bergizi gratis pun, meski sudah dialokasikan pemerintah senilai Rp71 triliun, belum tentu disepakati sebanyak itu oleh DPR.
“Saya pikir trust issue itu betul adanya. Jadi [Prabowo] lebih percaya sama keluarga untuk menjelaskan anggaran yang harus diserahkan kepada ahlinya, pada teknokrat,” ucap Bhima.
Bhima menyampaikan bahwa sangat mungkin Prabowo melihat beban politik jauh lebih besar dibandingkan dari sisi hitungan matematis soal penganggaran di 2025.
Hal tersebut menjadi pertaruhan dalam menjalankan program Jokowi atau program milik presiden terpilih sendiri, yang mana keduanya butuh anggaran jumbo.