Bisnis.com, JAKARTA – Produsen bahan baku obat membongkar alasan di balik mahalnya harga obat yang dijual di dalam negeri. Hal ini mengarah pada minimnya peran pemerintah dalam mengendalikan harga obat dan penguatan industri farmasi nasional.
Sekjen Asosiasi Produsen Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) Irfat Hista mengatakan Indonesia saat ini baru bisa memproduksi obat generik atau obat berbahan dasar zat aktif untuk memasok kebutuhan nasional.
Obat generik merupakan obat yang telah habis masa patennya sehingga bisa diproduksi oleh perusahaan manapun. Adapun, obat yang dimaksud seperti paracetamol, omeprazole, amoxicillin, hingga amlodipine.
“Jadi, statement Presiden Pak Jokowi yang mengatakan harga obat lokal mahal itu memang sangat-sangat benar sebenarnya. Tetapi harus dilihat, yang dimaksud harga obat yang mahal itu obat yang mana, generik atau paten?” kata Irfat kepada Bisnis, dikutip Kamis (11/7/2024).
Sementara itu, Irfat menduga obat mahal yang disebut Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu merupakan obat paten atau non-generik yang sebagian besar masih diimpor. Obat yang masih memiliki paten itu juga tidak dapat diproduksi dalam negeri karena terdapat hak eksklusif bagi penemu selama 20 tahun.
Misalnya, Irfat mencontohkan obat Viagra yang dipatenkan oleh perusahaan farmasi ternama, Pfizer asal Amerika Serikat.
Sementara, bahan baku aktifnya yaitu Sildenafil yang banyak beredar di pasaran. Dia juga menyebutkan obat-obat paten lainnya yang khusus untuk penyakit seperti diabetes, jantung, darah tinggi, dan lainnya.
“Obat generik dan paten sama-sama bisa menyembuhkan, hanya saja obat paten harganya mahal,” ujarnya.
Dia pun meminta pemerintah untuk berperan aktif dalam melakukan pengendalian harga obat yang selama ini dikendalikan oleh skema pasar sehingga memicu fluktuasi harga. Obat-obat yang ada di apotek tidak ada pengendalian harga.
Selama ini, pemerintah baru melakukan pengendalian harga lewat belanja pemerintah yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan APBN melalui e-Katalog. Barang-barang tersebut yang akan masuk ke puskesmas dan rumah sakit.
“Kuncinya pengendalian harga, bukan cuma di obat generik, tapi juga di obat non-generik, obat paten. Apalagi yang obat paten ini yang diimpor tanpa melalui proses produksi di Indonesia,” pungkasnya.