Bisnis.com, JAKARTA- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti selisih data ekspor tekstil dari China yang merupakan aktivitas impor ke Indonesia, karena dicatat lebih rendah. Terdapat selisih signifikan untuk pakaian jadi dan produk jadi lainnya.
Adapun, selisih data tersebut ditunjukkan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang bersumber dari Trademaps dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (10/7/2024).
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Bambang Haryadi mengatakan kondisi tersebut merupakan pekerjan rumah (PR) besar Kementerian Perdagangan.
"Jadi, saya harap Pak Menteri [Zulkifli Hasan] tidak hanya cek gas melon saja tapi ini pencatatan terhadap selisih ini sangat besar kalau data dari API ini betul ini selisih nya besar sekali," kata Bambang.
Menurut Bambang, jika data tersebut benar, maka dapat dikatakan selisihnya merupakan barang impor bodong. Hal tersebut sangat merugikan negara dan akan berdampak pada keberlangsungan industri dalam negeri.
"Kami berharap komisi VII berharap kemendag ke depan lebih aktif, tidak hanya sidak LPG 3kg tapi juga sidak barang masuk dari Tiongkok ini," ujarnya.
Di sisi lain, Bambang menjelaskan bahwa Komisi VII dan pemerintah telah membuat UU Cipta Kerja yang salah satunya untuk melindungi industri dalam negeri, khsususnya dalam hal bahan baku penolong.
Dengan adanya selisih ekspor dan impor dari China itu menunjukkan ketimpangan yang menyebabkan industri produk tekstil terpukul hingga berdampak pada indsutri hulu.
"Karena bagaimana pun dengan banjirnya produk asing, khususnya asing, gimana UMKM bisa jalan? Padahal kami di daerah pilihan melatih masyarakat untuk menjahit," terangnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan selisih data yang tercatat oleh API merupakan kode HS 61-63 yang merupakan produk pakaian jadi dan produk jadi lainnya.
Dia mencatat terdapat selisih sebesar US$150,70 juta pada kode HS 61 yaitu barang pakaian dan aksesoris pakaian yang dirajut. Selanjutnya, pada HS 62 selisih sebanyak US$159,93 juta untuk pakaian tidak dirajut, dan kode HS 63 dengan selisih US$249,87 juta untuk barang dari tekstil.
"Jadi bisa kita bayangkan kenapa industri TPT kenapa satu-satu berguguran," ujarnya.