Bisnis.com, JAKARTA – Badan Anggaran (Banggar) DPR RI telah menyetujui defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024 menjadi 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) atau mencapai Rp609,7 triliun.
Proyeksi tersebut melebar dari target awal yang direncanakan sebesar 2,29% dari PDB atau hanya sebesar Rp522,8 triliun dalam APBN 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa keuangan negara atau APBN sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global yang masih lemah, masih berlanjutnya tensi geopolitik, dan tren suku bunga global yang tinggi seiring dengan kebijakan higher for longer.
Namun demikian, Sri Mulyani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga saat ini masih terjaga baik, sejalan dengan laju inflasi yang terjaga rendah.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah mengalami deviasi pada level Rp15.901 per dolar Amerika Serikat (AS) secara rata-rata pada semester pertama 2024.
Tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun juga mengalami tekanan, yang tercatat pada level 6,85% secara rata-rata pada semester pertama 2024 akibat kebijakan suku bunga higher for longer di global.
Baca Juga
Banggar DPR RI menyetujui sejumlah tambahan belanja pemerintah untuk semester kedua 2024, salah satunya alokasi anggaran Rp11 triliun untuk bantuan beras untuk periode 3 bulan, Agustus, Oktober, dan Desember.
Penambahan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk juga disetujui senilai Rp24 triliun, serta realisasi pinjaman luar negeri yang meningkat.
Lebih lanjut, Banggar DPR RI menyetujui penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp100 triliun untuk menutup defisit anggaran akibat penambahan berbagai belanja tersebut.
“Untuk itu, akan digunakan SAL tahun sebelumnya Rp100 triliun dan tambahan defisit yang berasal dari pinjaman luar negeri tentu tidak membutuhkan pembiayaan dalam bentuk SBN, sehingga penerbitan SBN justru bisa ditekan menurun,” kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, Banggar DPR memberikan catatan kepada Kementerian Keuangan untuk melakukan relaksasi kebijakan automatic adjustment atau blokir anggaran kementerian dan lembaga (K/L) pada semester kedua tahun ini.
Dalam hal ini, Sri Mulyani menyampaikan bahwa relaksasi kebijakan tersebut akan dilakukan, tetapi tetap secara selektif dan mempertimbangkan kondisi keuangan negara hingga akhir tahun.
“Relaksasi tetap dilakukan secara selektif dan tentu melihat kondisi keuangan negara, dan saya rasa ini sesuai dengan apa yang selama ini memang menjadi pegangan bagi kami bendahara negara mengelola keuangan negara,” katanya.
Belanja Bengkak, Penerimaan Negara Seret
Pemerintah memperkirakan memperkirakan anggaran belanja negara akan mencapai Rp3.412,2 triliun hingga akhir 2024, meningkat Rp 81 triliun dari rencana awal dibandingkan dengan pagu awal yang direncanakan sebesar Rp3.325,1 triliun.
Belanja negara yang meningkat hingga akhir tahun ini terutama didorong oleh kenaikan belanja pemerintah pusat senilai Rp90,7 triliun dari awalnya Rp2.467,5 triliun menjadi Rp2.558,2 triliun.
Selain tambahan belanja yang telah disebutkan di atas, pemerintah juga menambahkan anggaran untuk kebutuhan pajak ditanggung pemerintah (DTP) rumah tapak dan rumah susun sebesar Rp500 miliar, serta tambahan belanja yang bersumber dari penerimaan hibah Rp32,3 triliun, antara lain untuk pelaksanaan Pilkada.
“Kemudian beberapa akselerasi dari proyek-proyek yang ingin diselesaikan, serta realisasi dari pinjaman luar negeri dari K/L, jadi kombinasi itu tadi,” jelas Sri Mulyani.
Lebih lanjut, terdapat juga potensi penambahan belanja untuk subsidi dan kompensasi energi, akibat dari pergerakan harga minyak yang masih tinggi dan nilai tukar rupiah yang melemah.
“Subsidi energi dalam hal ini diperkirakan akan mengalami kenaikan dengan beberapa parameter perubahan harga minyak, maupun dari sisi lifting dan nilai tukar,” kata dia.
Di sisi lain, pendapatan negara secara total diperkirakan hanya naik tipis Rp200 miliar, dari target awal Rp2.802,3 triliun menjadi Rp2.802,5 triliun.
Dalam hal ini, penerimaan perpajakan diproyeksikan tidak mencapai target, yaitu sebesar Rp2.218,4 triliun, dari target dalam APBN 2024 yang sebesar Rp2.309,9 triliun.
Perkiraan ini disebabkan oleh baik penerimaan pajak maupun penerimaan kepabeanan dan cukai yang diperkirakan tidak mencapai target, yang masing-masing hanya mencapai Rp1.921,9 triliun dan Rp296,5 triliun, dari target awal masing-masing Rp1.988,9 triliun dan Rp321 triliun.
Sepanjang semester pertama 2024, Sri Mulyani menyampaikan bahwa realisasi penerimaan pajak telah tertekan akibat penurunan realisasi PPh badan hingga 34,5% akibat profitabilitas perusahaan yang menurun sebagai dampak dari moderasi harga komoditas.
Selain itu, tekanan juga dipicu dari restitusi yang mengalami kenaikan, baik PPh maupun PPN dalam negeri, yang mencapai 70,3%.