Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Firdaus Cahyadi

Indonesia Team Lead Interim, 350.org

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Komitmen dalam Transisi Energi

Untuk melihat sejauh mana komitmen Prabowo dalam transisi energi, kita perlu melihat ulang komitmen transisi energi yang telah dibuat Presiden Jokowi.
Terminal energi Pertamina/Pertamina
Terminal energi Pertamina/Pertamina

Bisnis.com, JAKARTA - Jika tidak ada aral melintang, Prabowo Subianto akan dilantik menjadi Presiden Indoensia pada Oktober mendatang.

Berbagai harapan dibebankan di pundak mantan menantu Soeharto, penguasa rezim otoritarian Orde Baru itu. Salah satunya tentu saja terkait dengan transisi energi. Lantas, bagaimana komitmen transisi energi Prabowo Subianto?

Untuk melihat sejauh mana komitmen Prabowo Subianto dalam transisi energi, kita perlu melihat ulang komitmen transisi energi yang telah dibuat Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pemerintahan Jokowi telah memiliki beberapa komitmen transisi energi, salah satunya adalah JETP (Just Energy Transition Partnership). Komitmen JETP ini diluncurkan di sela-sela KTT G20 di Bali pada 2022 silam.

Pemerintah Indonesia, melalui Sekretariat JETP telah meluncurkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP. Peluncuran CIPP JETP itu indikasi pemerintah telah memiliki komitmen yang kuat terhadap transisi energi. Benarkah demikian?

Sekilas, dengan meluncurkan CIPP JETP, pemerintah telah memiliki komitmen kuat terhadap transisi energi. Namun, bila ditelisik lebih jauh lagi, CIPP JETP justru mengesampingkan peran negara untuk memfasilitasi pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Padahal energi terbarukan berbasis komunitas bisa mempercepat transisi energi dibandingkan pemerintah hanya fokus pengembangan energi terbarukan skala besar.

Penelitian 350.org Indonesia bersama Celios mengungkapkan bahwa jika komitmen dana JETP US$20 miliar digunakan sebesar 50% untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 GW. Pembangkit energi terbarukan setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 MW.

Bukan hanya itu, di waktu yang hampir bersamaan dengan diluncurkannya CIPP JETP, pemerintah juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang menunjukan bahwa komitmennya terhadap transisi energi kian melemah.

Pada awal 2024 misalnya, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, melalui siaran pers resminya, mengungkapkan bahwa bauran energi terbarukan hingga 2024 masih di angka 13,1%. Padahal target di tahun 2025 sebesar 23% bauran. Dalam siaran pers itu pula Menteri ESDM menekankan perlunya langkah-langkah strategis untuk mencapai target di tahun 2025.

Hanya berselang sebulan, tepatnya pada Februari 2024 lalu, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) sedang menyusun revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam revisi itu target bauran energi terbarukan memang diturunkan, dari 23% menjadi antara 17%—19% pada 2025.

Sebelumnya, di akhir Januari lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini akan menjadi payung hukum bagi kegiatan carbon capture storage (CCS) di Indonesia. Padahal, bila ditelisik lebih jauh penggunaan teknologi CCS ini hanya akan memperpanjang usia pemakaian energi fosil. Padahal makin lama energi fosil tetap digunakan semakin sulit pula pengembangan energi terbarukan. Dapat dikatakan CCS ini adalah solusi palsu transisi energi.

Celakanya, kebijakan yang mencerminkan makin lemahnya komitmen transisi energi pemerintah tidak berhenti sampai di situ. Menjelang lengser, pemerintahan Jokowi justru terus mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif terhadap transisi energi. Baru-baru ini misalnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2024 pada akhir Mei lalu. Regulasi ini merupakan revisi atas PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam regulasi terbaru itu, salah satunya, mengatur tentang pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.

Pemberian izin mengelola tambang kepada ormas keagamaan adalah upaya pemerintah untuk tetap melindungi industri batu bara yang menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Jika sebelumnya menggunakan narasi nasionalisme kanan, kini pemerintah akan menggunakan narasi agama untuk mempertahankan tambang batu bara.

Dari serangkaian kebijakan pemerintahan Jokowi yang mengindikasikan makin lemahnya komitmen transisi energi itu, pertanyaannya kemudian adalah apakah kebijakan itu akan dilanjutkan oleh Prabowo dalam pemerintahan ke depan?

Tidak ada tanggapan dari Prabowo untuk tidak melanjutkan berbagai kebijakan Presiden Jokowi yang mencerminkan lemahnya komitmen transisi energi itu. Bahkan terkait pemberian izin tambang batu bara ke ormas keagamaan Prabowo, menurut Ketua Harian DPP Partai Gerinda Sufmi Dasco Ahmad yang dikutip beberapa media massa, mengungkapkan bahwa Prabowo Subianto tidak menolak kebijakan tersebut.

Dengan kata lain, hampir pasti semua kebijakan energi pemerintahan Presiden Jokowi, yang mencerminkan lemahnya komitmen transisi energi, akan kembali dilanjutkan oleh Prabowo dalam pemerintahan ke depannya. Bahkan bukan tidak mungkin ke depan komitmen transisi energi pemerintahan baru akan terus melemah.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper