Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkapkan, setidaknya 27.915 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal tahun hingga 19 Juni 2024 dengan Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Barat (Jabar) menjadi provinsi terbanyak
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI-JSK) Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan, total pekerja yang di PHK tersebut didominasi oleh sektor non-garmen sebanyak 15.919 orang, sedangkan dari sektor garmen, tekstil, alas kaki, dan kulit sebanyak 11.874 orang.
“Kenapa lebih banyak? Karena [sektor non garmen] ini penggabungan, banyak sektor. Ini fresh [data] PHK 2024, Januari sampai 19 Juni,” kata Indah saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (19/6/2024).
Dia menuturkan Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah PHK terbanyak. Hal ini lantaran banyak pabrik manufaktur ada di kedua provinsi tersebut.
Lebih lanjut Ida mengatakan, baik pemerintah pusat maupun daerah melakukan pendampingan kepada korban PHK serta memantau agar hak-hak yang diterima pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa waktu lalu, puluhan pabrik tekstil nasional dikabarkan tutup dan menyebabkan ribuan buruh mengalami PHK massal. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, setidaknya 10.800 pekerja pabrik tekstil yang di PHK hingga Mei 2024.
Baca Juga
Pada kuartal I/2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Terdapat kurang lebih 20-30 pabrik yang mungkin saat ini sudah tutup dan tidak tercatat jumlah pabrik yang melakukan PHK pada tenaga kerjanya,” kata Wakil Ketua Umum API David Leonardi, Jumat (14/6/2024).
Angka tersebut diperkirakan lebih besar lantaran jumlah pekerja kontrak yang tidak tercatat. Menurutnya, hal ini menunjukan bahwa angka PHK yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan PHK yang tercatat.
Dia mengungkapkan, PHK yang terjadi secara masif tersebut dipicu oleh turunnya order untuk industri tekstil dalam negeri akibat harga produk yang sulit bersaing dengan produk impor.
“Produk TPT Indonesia bersaing dengan produk impor yang lebih murah dibandingkan dengan produk TPT Indonesia,” pungkasnya.