Bisnis.com, JAKARTA - Seruan aksi boikot produk Israel kembali menyeruak di masyarakat usai serangan yang terjadi di Rafah. Sejumlah gerai yang dianggap sebagian pihak terafiliasi dengan Israel menjadi sasaran.
Beberapa hari terakhir, gerakan boikot ini justru mengarah langsung pada aksi sweeping restoran cepat saji oleh sejumlah pihak yang mengeklaim bela Palestina. Salah satunya adalah gerai Starbucks di Makassar.
Berdasarkan video viral yang diunggah akun @ma*as**r_i*nfo, sejumlah pemuda yang diduga dari sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) mengenakan pakaian serba putih, peci, lengkap dengan bendera Palestina masuk ke dalam gerai.
Pendemo memaksa pengunjung keluar dan salah satu pendemo melakukan pemukulan. Adapun, aksi tersebut dilakukan Jumat (7/6/2024) di Jalan AP Pettarani Makassar.
Dalam jangka panjang, aksi boikot yang masif berisiko mengancam nasib pekerja di perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Israel, di antaranya seperti KFC, McDonald's, dan Pizza Hut.
Baca Juga
Teranyar, curhatan seorang pegawai di salah satu perusahaan yang terdampak boikot produk Israel menjadi viral di media sosial TikTok. Menurut unggahan tersebut, aksi boikot Starbucks, KFC dan McDonald's telah mengancam keberlangsungan kerja para pegawai kontrak.
"Anak saya kontrak kerja di KFC nya ga diperpanjang gara-gara aksi boikot. Sekarang jadi pengangguran, padahal punya anak istri, belum punya cicilan KPR Rumah, sudah coba melamar kesana kesini masih belum dapat kerjaan, mana yang teriak-teriak Pro-Palestina? Ada enggak yang kepikiran bagaimana suadara sebangsa bahkan seagama?," tulis warganet dalam unggahan yang beredar viral media sosial TikTok, dikutip Sabtu (8/6/2024).
Merespons fenomena tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey mengakui, seruan aksi boikot secara masif hingga gerakan sweeping tentunya akan berdampak nyata terhadap kinerja bisnis. Tingkat kunjungan pembeli akan berkurang hingga memukul produktivitas usaha.
"Ujung-ujungnya tidak ada jalan lain, akan ada pengurangan tenaga kerja dan PHK," ujar Roy saat dihubungi, Sabtu (8/6/2024).
Tidak hanya waralaba restoran cepat saji yang akan tergerus bisnisnya akibat aksi boikot, tapi penjualan produk Unilever di gerai ritel modern pun diakui Roy juga bisa terdampak.
Padahal, lanjutnya, mayoritas waralaba cepat saji seperti McDonalds dan KFC di Indonesia telah menyatakan tidak ada keterlibatan dengan korporasi pemilik label induknya di Amerika Serikat yang diduga terlibat mendukung aksi Israel.
Begitupun, dengan produk Unilever di Indonesia, kata Roy, dihasilkan dari perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja lokal, membayar pajak kepada negara dan memberi andil terhadap ekonomi nasional lewat investasi.
"Terkadang brand memang sama, cuma kan sudah masing-masing negara menjalankannya, sudah independen tidak ada kaitannya dengan yang di sana [luar negeri]," ucapnya.
Oleh karena itu, Roy menegaskan pentingnya kehadiran pemerintah dalam menyikapi fenomena boikot. Pemerintah perlu mengambil langkah seimbang untuk mencapai perdamaian dunia, tanpa merugikan ekonomi nasional. Misalnya lewat diplomasi yang andal di tingkat internasional.
Menurut Roy, pemerintah Indonesia perlu membuktikan kebenaran dari deretan tuduhan pro-Israel terhadap sejumlah produk atau perusahaan yang dijalankan di Indonesia. Pasalnya, apabila pemerintah membiarkan opini publik terkait boikot meluas tanpa aksi pembuktian, dikhawatirkan ancaman PHK makin membelenggu nasib pekerja di Tanah Air.
"Pemerintah harus hadir supaya tidak terjadi polemik berkepanjangan, perlu ada penjelasan dan data akurat, melindungi pelaku usaha dan tenaga kerja yang ada di dalamnya," tutur Roy.