Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Terancam Jadi Importir CPO Gara-gara Biodiesel, Kok Bisa?

Indonesia terancam jadi importir CPO akibat pengembangan biodiesel yang bakal dilakukan secara masif.
Ilustrasi sawit. Deretan truk di sekitaran perkebunan sawit Sepaku, Kalimantan Timur, dekat lokasi IKN Nusantara pada Rabu (8/3/2023). - Reuters/Willy Kurniawan
Ilustrasi sawit. Deretan truk di sekitaran perkebunan sawit Sepaku, Kalimantan Timur, dekat lokasi IKN Nusantara pada Rabu (8/3/2023). - Reuters/Willy Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia terancam jadi importir minyak sawit atau crude palm oil (CPO) akibat pengembangan biodiesel.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung menyebut, bahwa produktivitas kelapa sawit petani swadaya saat ini masih jauh dari normal yaitu hanya sekitar 300 - 400 kilogram tandan buah segar (TBS) per hektare per bulan. Di sisi lain, kebutuhan minyak sawit untuk energi di dalam negeri terus meningkat dengan adanya pengembangan biodiesel (solar campur minyak sawit).

Apalagi, pemerintah berencana terus melakukan pengembangan biodiesel hingga mencapai B50. Adapun, saat ini program biodiesel yang telah berjalan yaitu B35 (campuran minyak sawit 35% dalam solar).

Produktivitas kebun kelapa sawit yang rendah, kata Gulat, dapat mengancam pasokan untuk pemenuhan minyak sawit sebagai bahan baku energi maupun pangan.

"Kalau itu mimpi B50, kita sudah jadi importir CPO 1,2 juta ton per tahun dengan kondisi [produksi] saat ini," ujar Gulat dalam sebuah diskusi publik, Kamis (6/6/2024).

Menurutnya, Indonesia bakal kehilangan hingga Rp130 triliun per tahun jika harus menjadi importir CPO. Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa peremajaan sawit rakyat (PSR) harus menjadi prioritas. Lewat replanting, produktivitas kepala sawit petani disebut dapat melonjak hingga 3.500 kilogram TBS per hekatre per bulan.

Namun, nyatanya program PSR yang dinahkodai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) masih jauh dari harapan. Sejak diluncurkan pada 2017, kata Gulat, realisasi PSR saat ini hanya mencapai 323.000 hektare dari target 500.000 hektare.

Tumpang tindih kebijakan, dianggap menjadi faktor utama minimnya realisasi peremajaan sawit di kalangan petani swadaya. Gulat pun menyinggung soal aturan kebun sawit di dalam kawasan hutan UU Cipta Kerja pasal 110B yang dianggap merugikan dan memperburuk produksi sawit nasional.

Dia menyebut, ada sekitar 2,8 juta hektare lahan sawit yang dianggap masuk dalam kawasan hutan tidak boleh dilakukan replanting akibat beleid tersebut.

"Lima tahun lagi kita kehilangan 12 juta ton CPO per tahun. Banyak sekali peraturan ini," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengeklaim, program mandatori biodiesel telah meningkatkan nilai tambah produk sawit.

Sejak diluncurkan pertama kali pada 2009, kata dia, penggunaan minyak sawit dalam komposisi biodiesel terus melonjak. Dari sebelumnya hanya 0,7 juta kiloliter CPO, naik menjadi mencapai 12 juta kiloliter pada tahun ini.

"Bila volume penggunaan 12 juta kiloliter sudah mencapai US$7,9 miliar dan peningkatan nilai tambah dari CPO menjadi biodisel sekitar Rp15,85 triliun," ungkapnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Rachmawati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper