Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) Julfi Hadi meminta dukungan pemerintah dari sisi insentif dan regulasi untuk pengembangan bisnis hidrogen hijau.
Dukungan dari sisi insentif fiskal itu berkaitan dengan keringanan pajak penghasilan (PPh) badan, serta keringanan pajak impor untuk fasilitas produksi hidrogen hijau dan turunannya. Selain itu, dorongan subsidi harga hidrogen hijau di dalam negeri.
Julfi turut mendorong grant atau pendanaan untuk mendukung sejumlah pilot project bisnis hidrogen yang saat ini didorong perusahaan panas bumi Pertamina tersebut. Misalkan, bantuan pendanaan itu bisa didapat dari pemindahan alokasi subsidi energi fosil dan pajak karbon.
“Kalau di Eropa itu ada subsidi harga hidrogen hijau US$3 ya,” kata Julfi saat webinar DETalk, Kamis (2/4/2024).
Ihwal dukungan regulasi, Julfi menyarankan pemerintah untuk mulai mengatur soal ekspor hidrogen hijau dan turunannya. Selain itu, pengaturan soal standar produksi dan transportasi hidrogen hijau dan turunannya termasuk hydrogen refueling station (HRS).
“Yang perlu kita bicarakan di luar dari Jawa dan Sumatra, potential power wheeling untuk off grid produk seperti green hydrogen sebagai first initiative untuk deploye green hydrogen ini karena transportasi menjadi major cost,” kata dia.
Baca Juga
Saat ini, PGEO tengah mengembangkan sejumlah pilot project hidrogen hijau dengan beberapa mitra strategis dari beberapa negara.
PGEO bekerja sama dengan Keppel dan Chevron untuk penetrasi pasar Singapura. Proyek percobaan dilakukan di Blok Panas Bumi Ulubelu, Way Ratai, dan Gunung Tiga yang berada di Lampung.
Sementara itu, penetrasi pasar Jepang dilakukan bersama dengan Tokyo Electric Power Company Holdings, Incorporated (TEPCO HD). Adapun, potensi panas bumi yang digunakan untuk produksi hidrogen hijau dilakukan di Blok Tompaso dan Lahendong yang berada di Sulawesi Utara.
Sementara itu, untuk Blok Seulawah yang berada di Aceh saat ini tengah dijajaki kerja sama dengan mitra potensial yang ada di Eropa dan Timur Tengah.
“Sumatra Utara kita lagi bicara dengan beberapa mitra potensial di Timur Tengah dan Eropa, kita lagi pilot project dan juga cek market supaya langkah-langkah itu bisa cepat dilakukan,” tuturnya.
Rencananya, pilot project itu bakal dilakukan selama kurang dari 3 tahun, sebelum masuk pada tahap komersial.
Saat ini, PGE mengelola 13 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang sebesar 1,8 gigawatt (GW), di mana 672 megawatt (MW) dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skenario kontrak operasi bersama.
Kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja PGE berkontribusi sebesar sekitar 79% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi pengurangan emisi CO2 sebesar sekitar 9,7 juta ton CO2 per tahun.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mempersiapkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.14/2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk mendorong pembelian listrik dari pembangkit listrik tenaga hidrogen.
Revisi PP itu rencananya bakal menambah sejumlah pasal yang terkait dengan pembelian listrik dari energi baru. Adapun, hidrogen saat ini telah masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) sebagai jenis energi baru.
“Hidrogen juga sudah masuk ke dalam RUU EBET sebagai bagian dari energi baru yang ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dalam PP,” kata Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi kementerian ESDM Chrisnawan Anditya saat webinar DEtalk, Selasa (2/4/2024).
Selain itu, Kementerian ESDM turut membahas izin dan lisensi bisnis hidrogen untuk dapat mendorong ekosistem pengembangan energi baru tersebut.
Saat ini, pembahasan masuk dalam tahap awal identifikasi untuk izin yang diperlukan dan kode klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI.