Bisnis.com, JAKARTA - Pejabat Australia menanggapi turunnya harga nikel yang memberikan tekanan pada produsen nikel di seluruh dunia dan meningkatkan kemungkinan penutupan tambang secara besar-besaran.
Asisten Menteri Perdagangan dan Manufaktur Australia Tim Ayres, mengatakan bahwa pada hari ini, Kamis (25/1) Menteri Sumber Daya negaranya telah mengadakan pertemuan dengan para produsen setara untuk membahas kondisi pasar.
“Saya berharap dia akan membuat beberapa pengumuman hari ini mengenai posisi pemerintah Australia terkait isu-isu tersebut. Jadi saya tidak ingin mendahului proses itu,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (25/1/2024).
Lanjutnya, ia mengatakan bahwa Australia sangat tertarik untuk melanjutkan pekerjaan yang telah dimulai dengan pemerintah Indonesia, khususnya dalam hal standar lingkungan dan standar tata kelola.
Adapun, kerjasama ESG yang telah dimulai dari Negeri Kangguru tersebut merupakan persyaratan Australia bagi produsen nikel di negaranya dan Indonesia, untuk terus meningkatkan standar ESG guna memenuhi permintaan seluruh dunia.
“[Hal tersebut] akan menjadi fitur yang sangat kuat bagi masa depan pasar Nikel, dan Australia terlibat di tingkat bilateral untuk mendukung pekerjaan itu,” terangnya ketika ditemui di kediaman Duta Besar Australia di Jakarta.
Baca Juga
Kemudian, Ayres juga menuturkan bahwa Australia akan memastikan bersama dengan London Metal Exchange (LME) agar nikel diperhitungkan dalam posisi kompetitif di masa depan.
Mengutip Bloomberg, penerima dampak penurunan harga nikel terbesar sejauh ini adalah Australia. Pada Senin (22/1) produsen nikel milik miliarder Andrew Forrest, Wyloo Metals Pty Ltd. mengatakan pihaknya menutup tambangnya. BHP Group Ltd. mengatakan pihaknya menutup sebagian pabrik pengolahannya.
Kemudian, First Quantum Minerals Ltd. juga menangguhkan tambang nikel di Ravensthorpe, Australia Barat dan memangkas sepertiga karyawannya. Harga nikel juga telah menurun lebih dari 40% pada tahun lalu.
Hal ini kemudian menambah tekanan pada biaya operasi yang lebih tinggi dan dapat menimbulkan risiko besar bagi proyek-proyek di luar Indonesia. Pertumbuhan permintaan yang lebih lesu pada sektor kendaraan listrik juga menjadi hambatan. Komoditas ini diperdagangkan mendekati US$16.000 per ton, yakni mendekati level terendah sejak 2021.
Sementara itu, analis di BloombergNEF Allan Ray Restauro mengatakan bahwa proyek-proyek di Indonesia lebih fleksibel dalam menyerap dampak penurunan harga nikel. Hal ini berarti pasokan global secara keseluruhan akan terus meningkat, meskipun ada pembatasan produksi di tempat lain.