Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Faisal Basri membandingkan kondisi pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Soeharto, yang mundur pada 1998.
Dia berpendapat kondisi rezim pemerintahan Jokowi tidak lebih bagus dari zaman Soeharto. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tersebut mengungkapkan kondisi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang cukup akut mendorong adanya fenomena konglomerasi.
Berangkat dari kondisi tersebut, Faisal menilai kondisi orde baru zaman Soeharto masih lebih baik dari pemerintahan saat ini.
Hal tersebut dengan alasan bahwa saat ini para pengusaha menjadi penguasa. Berbeda dengan zaman Soeharto, di mana tak ada pengusaha yang menjadi politisi, pun sebaliknya.
“Jadi jelas, Pak Harto dengan politisi satu pihak, ada pihak kedua pengusaha, tapi tidak ada pengusaha yang jadi politisi, pengusaha jadi pejabat. Kalau sekarang pengusaha dia penguasa dia, bukan conflict of interest lagi, jadi pengerukannya akan sedemikian luar biasa. Konsentrasi kekayaan akan sangat luar biasa,” tuturnya dalam Political Economic Outlook 2024 yang diselenggarakan oleh Progresif Indonesia, dikutip Kamis (18/1/2024).
Alumni dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengungkapkan dari 11 pengusaha batu bara terbesar di Indonesia, termasuk di dalamnya para politisi, menguasai sekitar 70% dari produksi yang ada.
Baca Juga
Bahkan kala komoditas Indonesia pada 2022 mendapati windfall atau durian runtuh, para pengusaha tersebut mengantongi setidaknya Rp1.000 triliun dari berkah durian runtuh di tengah perang Rusia-Ukraina.
Di sisi lain, Faisal menyayangkan kala itu pemerintah tidak menarik pajak durian runtuh kepada para pengusaha tersebut. Berbeda dengan Australia, lanjutnya, yang mengenakan windfall tax 30%-40%.
“Hasil ekspornya saja, yang dijual ke PLN nggak saya hitung, mereka dapat batu bara [kode HS 27], pendaptannya dari ekspornya Rp1.000 triliun. Di Indonesia windfall profit tax nya nol, 100% windfall profit dinikmati oligarki itu,” ungkapnya.
Sebelumnya pun, Faisal mengkritisi rezim Jokowi yang minim usaha, namun banyak keinginan sehingga utang terus menggunung. Dirinya memproyeksi pada akhir kepemimpinan Jokowi, setidaknya terdapat Rp8.700 triliun utang yang diwariskan ke pemerintahan selanjutnya.