Bisnis.com, JAKARTA - Bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) melaporkan rekor kerugian sebesar Rp1.778 Triliun akibat kebijakan kenaikan suku bunga acuan sepanjang 2023.
Mengutip Reuters, Senin (15/1/2024), The Fed membukukan kerugian US$114,3 miliar atau sekitar Rp1.778 (kurs Rp15.555 per dolar AS) triliun pada 2023. Padahal, The Fed meraup keuntungan pendapatan sebesar US$58,8 atau Rp914,6 triliun pada 2022.
Kerugian tersebut terkait dengan lonjakan beban bunga yang dihadapi The Fed di tengah kebijakan kenaikan suku bunga dalam upayanya untuk meredam inflasi AS ke target 2%.
Dapat Anda ketahui, The Fed membayar sejumlah lembaga keuangan sebesar US$281,1 miliar pada tahun lalu. Angka tersebut naik hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan US$102,4 miliar pada 2022 (year-on-year/yoy).
Sementara itu, bunga yang diterima dari obligasi yang dimiliki bank sentral mencapai US$163,8 miliar tahun lalu, dibandingkan dengan US$170 miliar pada 2022 (yoy).
The Fed mengatakan pengeluaran operasional di 12 bank regional, yang merupakan lembaga kuasi swasta yang diawasi oleh Dewan Gubernur The Fed mencapai US$5,5 miliar pada 2023.
Baca Juga
Bank sentral AS tersebut juga membayar bunga kepada bank, perusahaan keuangan dan pengelola keuangan lainnya yang memenuhi syarat untuk menaruh uang tunai di pembukuan bank sentral sebagai bagian dari cara bank sentral menerapkan kebijakan moneter dan pengendalian suku bunga jangka pendek.
Kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, yang dimulai pada musim semi 2022 ketika target suku bunga The Fed berada pada level hampir nol, mendorong suku bunga hingga mencapai 5,25%-5,5% pada pertemuan FOMC Desember 2023. Dampak kolektif dari tindakan tersebut yang mengakhiri rentetan profitabilitas yang kuat dari The Fed.
Efek Kenaikan Suku Bunga
The Fed mendanai dirinya sendiri melalui suku bunga yang diperoleh dari sekuritas yang dimilikinya dan melalui layanan yang diberikannya kepada bank. Biasanya The Fed mendapatkan keuntungan dan memberikan kelebihan pendapatannya kepada Departemen Keuangan seperti yang diwajibkan oleh hukum.
Kemudian, ketika mengalami kerugian, The Fed mencatatnya sebagai aset tertunda yang menghitung kerugian tersebut, yang diperkirakan dapat ditutup seiring waktu sebelum mengembalikan keuntungannya ke Departemen Keuangan.
Pada akhir 2023, aset yang ditangguhkan mencapai US$133 miliar. Kemudian, per 10 Januari 2024 aset tersebut mencapai US$136,9 miliar. Memperkirakan berapa besar kerugian yang ditelan The Fed merupakan hal yang menantang.
Pasalnya, hal ini karena bergantung pada tindakan The Fed terkait suku bunga, serta seberapa banyak The Fed akan mengurangi kepemilikan atas obligasi yang saat ini menghasilkan bunga.
The Fed kemungkinan besar telah selesai menaikkan suku bunga berdasarkan komentar dari para pejabat. Jika pasar benar, The Fed mungkin juga akan menurunkan suku bunga pada musim semi. Ada potensi juga bahwa bank sentral tersebut mungkin mendekati akhir ‘permainan’ penyusutan neraca.
Hal ini pada akhirnya dapat membatasi kerugian, yang sebelumnya beberapa analis sampai saat ini memperkirakan di kisaran US$150 miliar hingga US$200 miliar.
Berdasarkan penelitian terbaru dari St. Louis Fed, ada kemungkinan diperlukan waktu empat tahun atau lebih bagi The Fed untuk menutupi kerugiannya dan mulai mengembalikan uang ke Departemen Keuangan AS.
Adapun, kerugian tidak menghambat kemampuan The Fed dalam menjalankan kebijakan moneter. Hal ini telah ditekankan oleh para pejabat berulang kali. Pada saat yang sama, The Fed belum menghadapi tekanan politik nyata terkait kerugian ini.