Bisnis.com, JAKARTA - Memanasnya konflik di Laut Merah memicu pembengkakan biaya logistik yang dikeluarkan eksportir untuk distribusi barang. Sementara itu, importir belum melihat dampak signifikan dari kondisi geopolitik di Timur Tengah tersebut.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, kenaikan ongkos logistik imbas konflik tersebut melonjak signifikan dibandingkan dengan ongkos sebelum memanasnya perang Israel-Hamas.
"Bisa naik sampai 30-40% [ongkos produksi]," kata Benny kepada Bisnis, Jumat (12/1/2024).
Adapun, beberapa sektor industri pengolahan yang ekspornya mengalami tekanan akibat konflik panas tersebut, yaitu tekstil dan pakaian jadi, furnitur, elektronik, komponen otomotif, hingga produk turunan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Kondisi ini mulai terlihat dari lesunya permintaan ekspor ke Eropa lantaran mahalnya biaya angkutan logistik yang memilh untuk menghindari jalur Terusan Suez di Semenanjung Sinai, Mesir.
Angkutan logistik disebut lebih memilih untuk berputar melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Alhasil, biaya dan waktu pengiriman bertambah.
Baca Juga
"Efeknya akan berpengaruh terhadap harga jual bertambah dan akhirnya akan terjadi pengurangan volume [produksi]," ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi menyampaikan dampak dari konflik di Laut merah ke importir belum terlihat signifikan. Sebab, masih ada negara alternatif lain untuk mengganti kebutuhan impor.
Dia mencontohkan, impor pupuk dari Ukraina dan Rusia tidak tersendat karena sebagian besarnya telah digantikan produksi pupuk dalam negeri.
"Termasuk yang dikatakan Presiden Joko Widodo bahwa terjadi kelangkaan pupuk juga tidak tepat, meskipun secara kualitas masih di bawah seperti pupuk NPK, KNO3, dan lainnya," pungkasnya.