Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Sebut Rasio Utang Maksimal 60% PDB Tak Tepat untuk Negara Berkembang, Ini Alasannya

Rasio utang Indonesia saat ini mencapai 38,11% terhadap PDB pada November 2023.
Ilustrasi rasio utang pemerintah. Dok. Freepik
Ilustrasi rasio utang pemerintah. Dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – Peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 17/2023 tentang Keuangan Negara menetapkan batas aman rasio utang pemerintah sebesar 60% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan terakhir, posisi utang pemerintah adalah sebesar Rp8.041,01 triliun pada November 2023 atau secara rasio mencapai 38,11% terhadap PDB.

Sebagaimana diketahui, calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam debat capres ketiga, Minggu (7/1/2024), menyatakan bahwa rasio utang pemerintah tidak masalah jika mencapai 50% terhadap PDB. 

Sementara itu, calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyatakan bahwa rasio utang idealnya dijaga maksimal 30% dari PDB.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (8/1/2024) pun memberikan pernyataan bahwa UU memang memperbolehkan rasio utang maksimal 60% dari PDB. Dia menekankan bahwa rasio utang Indonesia terjaga jauh di bawah batas aman tersebut.

Jokowi pun membandingkan rasio utang Indonesia dengan negara lainnya, terutama negara-negara besar yang memiliki rasio utang hingga 200% terhadap PDB.

“Dan kita juga harus melihat bahwa utang kita, dibandingkan dengan GDP itu masih, masih pada kondisi baik dan aman lah. Masih di bawah 40%. Ingat, di negara negara besar itu sudah ada yang 260% [rasio utang terhadap PDB], ada yang 220%. Ada yang 120%, ada yang 66%,” katanya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa rasio utang yang diatur dalam UU keuangan negara merujuk pada Maastricht Treaty, yang dihasilkan di Eropa yang pada saat disepakati angka 60% terhadap PDB.  

Di sisi lain, penetapan angka 60% terhadap PDB tersebut mendapatkan banyak kritikan dari banyak peneliti dan ekonom, salah satunya yaitu angka 60% dinilai lebih cocok untuk negara-negara maju atau developed countries.

“Sementara itu, emerging countries seperti Indonesia dipercayai punya limit yang lebih rendah atau di sebuah studi disebutkan dalam jangka panjang rasio tersebut tidak boleh melebihi angka 40%,” katanya kepada Bisnis, Selasa (9/1/2024).

Oleh karena itu, menurut Yusuf, upaya untuk terus menurunkan rasio utang perlu menjadi agenda tersendiri bagi siapapun yang nantinya terpilih menjadi presiden.

“Pekerjaan rumah berikutnya sebenarnya memastikan pendanaan pembangunan tidak tergantung pada sumber pembiayaan dari utang karena meskipun terjadi perdebatan terkait penggunaan utang, tetap saja ada konsekuensi dari fokus pendanaan yang bergantung pada utang,” jelasnya.

Selain itu, dalam rangka mengelola utang, Yusuf menilai memastikan penggunaan utang juga penting diperhatikan mengingat beberapa komponen utang, misalnya utang luar negeri itu memiliki biaya tersembunyi yang harus diperhatikan.

Dia menambahkan, memperhatikan jadwal jatuh tempo juga turut mempengaruhi pengelolaan utang ke depan.

“Artinya ketika kebutuhan utang di tahun tertentu itu mengalami peningkatan, maka untuk sementara waktu pemerintah bisa melakukan strategi refinancing agar jatuh tempo hutang tidak terpusat atau terkumpul di satu tahun tertentu itu saja,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper