Bisnis.com, JAKARTA- Lesunya permintaan alat berat diproyeksi akan terus berlanjut hingga akhir 2023. Hal ini dipicu ketidakpastian geopolitik global hingga tahun politik jelang Pemilu 2024.
Ketua Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI), Etot Listyono memperkirakan penjualan alat berat hanya dapat mencapai 18.000 unit kurang hingga akhir 2023. Sedangkan, tahun 2022 lalu penjualan sebesar 20.300 unit.
"Perkiraan kami, kalau tahun lalu 2022 itu sampai 20.300 unit, mungkin kalau tahun ini 18.000 unit. Jadi, ada penurunan 11,3% sampai akhir tahun ini," kata Etot kepada Bisnis, Kamis (26/10/2023).
Menurut Etot, sebagian besar pelaku usaha masih konservatif dan memilih bersikap wait and see di tengah kondisi transisi struktur pemerintahan dan situasi geopolitik internasional yang masih panas.
Belum lagi dengan kondisi stok batu bara di China setelah pulih pascapandemi yang saat ini melimpah. Hal ini dapat berpengaruh pada naik turunnya harga batu bara di pasar global.
"Jadi banyak faktor, apakah harga akan naik lagi, nanti kita akan lihat lagi dalam evaluasi kuartalan," ujarnya.
Baca Juga
Dalam catatan PAABI, penjualan alat berat per kuartal III/2023 mengalami penurunan secara tahunan sebesar 11% atau sebanyak 14.000 unit.
Kendati mengalami penurunan, permintaan alat berat masih lebih besar dibandingkan kapasitas produksi dalam negeri yang mencapai 10.000 unit per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka impor dan re-manufacturing menjadi jalan pintas.
Ketua Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) Jamaluddin mengatakan jika permintaan alat berat tembus di atas 10.000 unit, maka untuk memenuhi gap atau kekurangan pasokan unit maka perlu impor atau melakukan re-manufacturing.
"Remanufacturing, tetapi tidak banyak. Sudah dilakukan tetapi tidak banyak, less than 100 unit per tahun," ujarnya.
Mengutip data Hinabi, porsi alat berat untuk sektor konstruksi sebesar 20 persen dari total produksi. Selanjutnya, untuk sektor pertambangan 40 persen, forestry 25 persen, dan agro 15 persen.