Bisnis.com, JAKARTA – Dua pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar (Anies-Muhaimin) serta Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD (Ganjar-Mahfud) mencanangkan janji pertumbuhan ekonomi yang berbeda.
Anies-Cak Imin atau disebut dengan nama AMIN, menetapkan sejumlah kebijakan fiskal sebagai pendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, salah satunya mengerek ekonomi menuju 6,5%.
“Mendorong efisiensi anggaran dengan memprioritaskan belanja produktif dan menekan belanja non produktif untuk menghasilkan ruang fiskal yang lebar dan pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 5,5%- 6,5% per tahun [2025-2029],” tulis poin kelima dalam dokumen Visi, Misi & Program Anies & Muhaimin, dikutip Selasa (24/10/2023).
Sedangkan pasangan Ganjar-Mahfud (GAMA) mematok janji pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, yakni di level 7%.
Ganjar-Mahfud merencanakan strategi untuk keluar dari Middle Income Trap (MIT) secara inklusif, dengan meningkatkan peran koperasi dan UMKM, dukungan usaha baru di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, juga melalui pemanfaatan infrastruktur, ekonomi digital, pengelolaan ekonomi hijau-biru, serta pertumbuhan industri manufaktur di 7,5%-8%. Optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk mempercepat industrialisasi dan investasi juga menjadi strategi mengejar pertumbuhan ekonomi di level 7%.
Baca Juga
“Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata Mencapai 7%,” tulis poin 3.1.3 Visi Misi Ganjar-Mahfud, dikutip Selasa (24/10/2023).
Melihat dari kesesuaian dengan rencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di mana ekonomi Indonesia perlu tumbuh di level 6%-7% dan harus stabil, untuk Indonesia dapat menjadi negara maju pada 2045.
Pandangan Ekonom atas Janji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mampu bertahan di atas level 5% dalam lima tahun ke depan.
Namun, dirinya menilai sulit bagi ekonomi Indonesia dapat tumbuh menuju 7%, di tengah tekanan global yang terjadi saat ini.
“Kalau sampai akhir 2029, masih bisa sekitar 5,5%. Namun rasanya kalau 7% sangat sulit,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (23/10/2023).
Sementara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai visi misi terkait target pertumbuhan ekonomi, baik Ganjar maupun Anies, masih sangat normatif dan cukup ambisius, bahkan dapat dikatakan overshoot.
Dalam lima tahun ke depan, Bhima memperkirakan konteks ekonomi global masih melambat, terutama karena berlanjutnya konflik geopolitik, fluktuasi harga komoditas, hingga terjadi fenomena deglobalisasi.
Hal yang menjadi masalah, struktur ekonomi Indonesia sangat rapuh, mulai dari industrialisasi yang macet, ketergantungan ekonomi dari komoditas olahan primer yang menunggu booming komoditas. Padahal, tidak ada yang mengetahui berapa lama 'durian runtuh' dari harga CPO, batubara, nikel akan bertahan.
“Kalau sisi permintaan globalnya turun, misalnya China ekonominya melambat maka sangat menantang bagi Indonesia untuk tumbuh diatas 5,5% apalagi 7%,” tuturnya.
Di sisi lain, Bhima melihat masih banyak tugas rumah Indonesia. Pertama, menyelesaikan masalah lemahnya struktur ekonomi yang diwariskan era Jokowi. Kedua, mendorong sumber ekonomi baru yang lebih berkualitas.
“Kita juga tidak ingin para Capres mengejar pertumbuhan tinggi tapi melupakan kualitas pertumbuhan seperti melebarnya ketimpangan, hingga masih banyaknya jumlah masyarakat rentan. Harus balance antara pertumbuhan dan indikator kesejahteraan yang lebih merata,” tutupnya.
Meski demikian, dirinya mengakui bahwa Ganjar dan Anies dalam visi misi nya menyentuh aspek ekonomi baru seperti transisi energi atau ekonomi hijau dan ekonomi digital.
Kedua hal tersebut memang penting sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Bhima menigngatkan bahwa perlu dicatat, ketergantungan teknologi impor, dan skill SDM yang berkorelasi dengan kualitas pendidikan tidak bisa selesai dalam 5 tahun.