Bisnis.com, JAKARTA - Bahan mentah, seperti batu bara masih menjadi andalan ekspor Indonesia, termasuk dalam gelaran pameran terbesar tahun ini, Trade Expo Indonesia (TEI) ke-38.
Kementerian Perdagangan mencatat, lima hari pertama gelaran Trade Expo Indonesia (TEI) ke-38, total transaksi batu bara mencapai US$13,26 miliar atau mencakup 58,93% dari total transaksi tercatat selama lima hari gelaran yang mencapai US$25,3 miliar.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Provinsi DKI Jakarta, Diana Dewi mengatakan, larisnya batu bara tidak lepas dari kebutuhan di masing-masing negara para pembeli. Sebagai contoh, data International Energy Agency (IEA) mencatat kebutuhan batu bara di China tahun ini mencapai 4,7 miliar ton. Kemudian mengekor India sebanyak 1,2 miliar ton.
Bahkan, secara global kebutuhan batu bara tahun ini diproyeksikan mencapai 8,38 miliar ton. Dari data itu, diakui bahwa China masih menjadi pangsa terbesar perdagangan batu bara, termasuk dari Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat pada periode Januari - September 2023, China tetap menjadi negara tujuan ekspor yang memiliki peranan terbesar dengan nilai mencapai US$45,3 miliar atau 25,15%. Komoditas utama yang diekspor ke China yakni besi/baja, lignit dan batu bara.
Adapun ekspor batu bara pada September 2023 tercatat US$2,2 miliar telah berkontribusi sebesar 11,39% terhadap total nilai ekspor di bulan itu. Menempati posisi kedua dari ekspor besi dan baja sebesar US$2,32 miliar dengan share mencapai 11,97%.
Baca Juga
"Tentu ada demand yang besar, tak heran penjualan batu bara pun tetap menjadi primadona," ujar Diana saat dihubungi, Senin (23/10/2023).
Di sisi lain, Diana mengakui bahwa para pengusaha melihat penjualan bahan mentah seperti batu bara berpeluang lebih cepat cuan, alih-alih barang setengah jadi maupun barang jadi yang sudah melalui proses hilirisasi.
Musababnya, hilirisasi membutuhkan waktu dan pabrikasi yang tidak mudah. Selain itu, impor teknologi juga perlu dijajaki hingga mendapatkan yang sesuai.
"Hilirisasi membutuhkan waktu, tempat, lobi-lobi dan modal yang tidak sedikit," ucapnya.
Di sisi lain, pengusaha menilai kekuatan anggaran pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada percepatan pembangunan pabrik di hilir. Padahal, mayoritas pelaku usaha lebih berorientasi hal yang lebih cepat menghasilkan keuntungan.
"Seringkali visi pemerintah tidak berjalan secara baik karena kurang ditopang oleh pendanaan dan kepastian hukum," bebernya.
Kendati begitu, Diana optimistis bahwa hilirisasi bisa dilakukan secara bertahap. Pemerintah disarankan fokus pada hilirisasi produk yang menjadi prioritas.
"Mungkin pemerintah juga bisa mengupayakan anggaran, baik melalui APBN maupun skema Kerja Sama Pemerintah Dan Badan Usaha (KPBU), sehingga bisa masuk teknologi pengolahannya," ucapnya.