Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mengkaji skema pengurangan capacity factor (CF) atau kapasitas produksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara (coal phase down) untuk mengejar target nol emisi karbon.
Skema itu dijabarkan PLN lewat skenario Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down (ACCEL RE Coal Phase Down), dengan proyeksi tambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 62 gigawatt (GW) atau 75 persen dari kapasitas terpasang pembangkit sampai dengan 2040.
Sementara itu, pembangkit gas bakal mengambil bagian 25 persen dari kapasitas pembangkit nasional dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) hingga 2040 nanti.
“Itu akan dilakukan secara bertahap, ya dan itu akan dilakukan dengan kajian juga jadi nanti harus dilihat dulu sistem ini kalau dikurangi PLTU-nya apa dampaknya,” kata Executive Vice President Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani saat ditemui di Jakarta belum lama ini, dikutip Minggu (22/10/2023).
Kamia menuturkan, perseroan tengah mengkaji kemungkinan untuk mengurangi CF dari pembangkit milik PLN dan independent power producer (IPP). Hanya saja, kata Kamia, opsi untuk mengurangi CF dari pembangkit milik IPP atau swasta relatif sulit untuk dilakukan lantaran terikat kontrak take or pay saat ini.
“IPP kan nanti ada masalah kontrak jadi akan lebih mudah dengan PLN, tetapi untuk IPP harus ada diskusi lebih lanjut apakah ada willingness untuk mendukung ini,” kata dia.
Baca Juga
Manuver itu diambil PLN lantaran belum jelasnya komitmen pendanaan internasional untuk pembiayaan kompensasi rencana pensiun dini PLTU batu bara hingga saat ini.
Kamia menegaskan perseroan bakal mengambil skenario yang lebih progresif untuk transisi EBT lewat pensiun dini PLTU apabila mendapat pinjaman murah dari lembaga internasional, seperti komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP). Hanya saja, hingga saat ini, komitmen pembiayaan kompensasi pensiun dini PLTU itu belum juga didapat.
Seperti diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar atau setara dengan Rp310,7 triliun (asumsi kurs Rp15.535 per US$) dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia, termasuk salah satunya rencana awal soal pensiun dini PLTU.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Perjanjian tersebut diteken pada November 2022 di sela-sela KTT G20 di Bali, menyusul kemudian inisiasi Sekretariat JETP pada Februari 2023. Usai penundaan rilis rencana investasi JETP pada bulan lalu, pemerintah mengungkapkan bahwa negara pendonor belakangan tidak berminat membiayai program pensiun dini PLTU di Indonesia.
Sementara itu, menurut Analis Energi IEEFA Putra Adhiguna, opsi pengurangan capacity factor PLTU batu bara yang saat ini didorong PLN terbilang riskan dilakukan sebagai respons atas nihilnya realisasi pendanaan langsung kompensasi pensiun dini PLTU batu bara dari JETP.
Putra beralasan keputusan untuk menekan CF pembangkit batu bara itu bakal bersingunggan langsung dengan urusan komersial dengan mitra pemasok dan IPP.
“Pengurangan porsi PLTU tidak mudah karena yang dihadapi utamanya adalah perjanjian komersil yang memiliki implikasi hukum,” kata Putra saat dihubungi, Selasa (10/10/2023).